Oleh : E. Aminudin Aziz
Abstrak
Makalah ini akan membahas faktor-faktor sosiolinguistik dalam realisasi kesantunan pertuturan orang Sunda. Data diperoleh dari hasil studi yang ditujukan untuk mengungkap realisasi kesantunan orang Sunda ketika mereka dihadapkan pada situasi yang akan memaksa mereka melakukan penolakan (Aziz 1996, 2000). Kedua studi tersebut menggunakan angket isian wacana sebagai alat pengumpulan data, yang diikuti oleh wawancara dengan sejumlah partisipan yang dipilih berdasarkan kriteria tertentu. Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam merealisasikan pertuturan penolakan, Ki Sunda cenderung memilih cara yang lebih lembut, tidak konfrontatif, dan senantiasa diikuti oleh ungkapan basa-basi. Menurut kacamata orang Sunda, cara-cara tersebut adalah strategi terbaik untuk menjaga keharmonisan komunikasi dan hubungan pribadi antara dirinya dengan mitra tuturnya. Hal ini tidak terlepas dari faktor-faktor sosiolinguistik yang terlibat dalam proses pertuturan tadi dan disadari penuh oleh penuturnya sebagai seperangkat nilai yang melandasi prilaku komunikasi mereka. Nilai-nilai tersebut dapat diwujudkan sebagai prinsip saling tenggang rasa. Analisis terhadap faktor-faktor sosiolinguistik seperti perbedaan jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, tingkat kewenangan relatif penutur terhadap mitra tutur, perbedaan usia penutur dari mitra tutur, perbedaan jenis kelamin, yang masing-masing diduga mempengaruhi realisasi kesantunan sebuah pertuturan, menunjukkan bahwa faktor perbedaan usia merupakan variabel yang paling menentukan realisasi kesantunan Ki Sunda. Dalam masyarakat Sunda, diyakini bahwa seorang penutur yang tidak mempertimbangkan masalah senioritas dalam pertuturannya dianggap telah melakukan kecerobohan komunikasi yang sangat fatal. Hal ini berbeda dari kelompok masyarakat lain yang misalnya lebih menghargai perbedaan kasta, keturunan, jabatan formal, jenis kelamin, dan sebagainya ketimbang faktor-faktor lainnya.
- 1. Pengantar
Sejauh pemahaman yang kita miliki tentang budaya dan masyarakat Sunda pada umumnya, Ki Sunda[2] sering diidentifikasi sebagai sosok yang mempunyai watak positif seperti lemah lembut, ramah, sopan, tenggang rasa, pemaaf, dan sebagainya. Di samping itu, ada juga watak negatif yang seringkali dilekatkan kepada Ki Sunda, misalnya tidak suka berpetualang, etos kerjanya rendah, dan sebagainya[3]. Khusus dalam tindak komunikasi yang memungkinkan dirinya atau mitra tuturnya “kehilangan muka”, Ki Sunda sangat cenderung untuk lebih menyembunyikan perasaan ketimbang berterus terang, membungkus ungkapannya dengan aneka basa-basi dan sebagainya.
Bagi mitra tutur yang latar belakang budayanya mirip dengan Ki Sunda, hal tersebut tidak terlalu bermasalah. Akan tetapi, lain halnya bagi mitra tutur yang latar belakang budayanya berbeda dengan Ki Sunda: ketidakterusterangan Ki Sunda berpotensi besar untuk disalahartikan. Sangat mungkin, cara-cara Ki Sunda tadi dianggap sebagai salah satu ciri ketakjelasan pertuturan yang akhirnya bisa mengarah pada gejala ‘kemunafikan’[4] berbahasa. Tentu saja, kesalahan memahami Ki Sunda tadi tidak bisa ditimpakan kepada para mitra tuturnya, seperti halnya tidak mungkin disalahkannya Ki Sunda dengan wataknya itu. Dalam pandangan Ki Sunda, strategi seperti itu justru (mungkin?) dianggap sebagai cara terbaik untuk menghargai perasaan mitra tuturnya, yaitu sebagai wujud kesantunan. Bagi Ki Sunda, mengungkapkan maksud pertuturan secara tidak langsung adalah prinsip yang mesti dijadikan ukuran, apalagi isi pertuturannya berpotensi untuk menghilangkan muka salah satu peserta tutur.
Salah satu tindak komunikasi yang memungkinkan seorang mitra tutur kehilangan muka adalah dalam tindak tutur penolakan, yaitu ketika seorang penutur mesti mengatakan TIDAK kepada mitra tuturnya. Makalah ini akan membahas berbagai cara Ki Sunda mengatakan TIDAK, dengan meninjau aspek-aspek sosiolinguistik yang mempengaruhi realisasi pertuturannya. Data diambil dari hasil survey di wilayah Bandung dan Priangan Timur dengan menggunakan angket isian wacana Discourse Completion Test (DCT), diikuti oleh wawancara dan pengamatan langsung. Di dalam makalah ini dirumuskan prinsip-prinsip kesantunan yang nampaknya melandasi tindak komunikasi Ki Sunda.
- 2. Telaah tentang Realisasi Kesantunan dalam Pertuturan
Banyak kajian telah dilakukan untuk menelaah realisasi kesantunan dalam pertuturan, baik yang memfokuskan pada bahasa tertentu maupun yang bersifat lintas budaya. Di antara pertuturan yang banyak menarik perhatian para peneliti kebahasaan adalah tindak tutur meminta (requesting) dan mohon maaf (apologizing) (Blum-Kulka, dkk. 1989), di samping tindak tutur berterima kasih (complimenting), mengeluh (complaining), dan menolak (refusing).
Semua kajian yang berkaitan dengan kesantunan dalam realisasi pertuturan secara jelas menuju kepada beberapa kesimpulan yang sama, di antaranya yaitu bahwa 1) kesantunan bahasa ditujukan untuk menyelamatkan muka peserta pertuturan (cf. Goffman 1967); 2) ada sejumlah faktor sosial yang sifatnya universal dan senantiasa mendapatkan perhatian penutur manakala menyampaikan pertuturan (cf. Brown & Levinson 1978; 1987); 3) strategi yang dipakai untuk merealisasikan sebuah pertuturan yang santun senantiasa tunduk pada nilai-nilai budaya penutur.
Penyelamatan muka menjadi bagian yang paling penting dalam kesantunan berbahasa karena, seperti disampaikan oleh Goffman (1967), muka adalah atribut sosial yang akan selalu dijaga oleh pemiliknya, dan akan senantiasa diperjuangkan supaya pemiliknya tidak pernah kehilangan muka. Goffman (1967: 5) mendefinisikan muka sebagai berikut:
The term face may be defined as the positive social value a person effectively claims for himself by the lines others assume he has taken during a particular contact. Face is an image of self delineated in terms of approved social attributes – albeit an image that others may share, as when a person makes a good showing for his profession or religion by making a good showing for himself.
Dalam kaitan dengan kepemilikan muka ini, setiap warga masyarakat pertuturan harus senantiasa menghormati muka yang dimiliki oleh warga lainnya, sehingga tatanan sosial akan bisa selalu dijaga keharmonisannya. Menurut Goffman, setiap orang mempunyai teritorial yang tertentu dan tidak boleh ekspansi ke teritorial orang lain, sebab akan merusak mukanya.
Brown & Levinson (1987) mengembangkan gagasan Goffman tadi dan menyatakan bahwa setiap orang pada hakikatnya memiliki dua jenis muka, yaitu muka positif dan muka negatif. Muka positif adalah keinginan setiap individu untuk bisa dihargai (misalnya prestasinya) dihormati (kedudukannya), dan diakui keberadaannya sebagai warga dalam sebuah masyarakat pertuturan. Adapun muka negatif adalah keinginan seseorang agar kepentingannya tidak diganggu dan keberadaannya dilecehkan oleh orang lain. Menurut Brown & Levinson, dalam setiap tindak komunikasi, khususnya dalam tindak tutur yang akan mengancam keselamatan muka mitra tutur, yang oleh Brown & Levinson disebut dengan face-threatening acts, setiap peserta tutur harus selalu memperhatikan kedua jenis muka ini.
Secara spesifik, Brown & Levinson menunjuk pada tiga aspek sosial yang diduga kuat akan sangat mempengaruhi realisasi kesantunan dalam pertuturan. Aspek-aspek itu adalah: 1) jarak sosial (social distance, D) yang ada di antara penutur dan mitra tuturnya. Jarak sosial dapat tergambar pada tingkat keakraban penutur dan mitra tuturnya, yang biasanya ditentukan oleh kekerapan interaksi antara penutur dan mitra tuturnya. 2) Kewenangan relatif (relative power, P) penutur terhadap mitra tuturnya. Hal ini dapat dilihat pada tingkat keleluasaan penutur untuk menggunakan pengaruhnya/wewenangnya – melalui sebuah pertuturan – terhadap mitra tuturnya. Pengaruh ini dapat bersumber dari status formal penutur dalam masyarakat, kekayaan, keturunan, perbedaan usia, atau bahkan perbedaan jenis kelamin. 3) Tingkat imposisi (ranking of imposition, R) sebuah pertuturan, yang oleh Brown & Levinson digambarkan sebagai “… the expenditure of goods and/or services by the H, the right of the S to perform the act, and the degree to which the H welcomes the imposition” (1987: 74). Dalam rumusan yang mereka kembangkan, bobot realisasi kesantunan sebuah pertuturan itu oleh ditentukan nilai Wx pada persamaan
Wx = D(S,H) + P(H,S) + Rx
Rumus di atas mengasumsikan bahwa masing-masing variabel dapat diukur dalam skala 1 sampai dengan n, dan n ini adalah bilangan kecil di antara 1 dan 7 (cf. Miller 1967; Goodenough 1969).
Ketiga aspek sosial dari Brown & Levinson ini masing-masing dapat berdiri sendiri dan berubah-ubah menurut lingkungan terjadinya pertuturan. Seorang teman dekat akan bisa berubah pola tuturannya ketika berbicara dengan teman lainnya yang kebetulan menjadi atasannya dan sedang memimpin rapat resmi di tempat bekerja. Seorang dokter yang mengemudikan mobilnya dengan ceroboh (tak peduli status formal lain yang dimiliki oleh dokter tersebut) dan ditangkap oleh polisi dapat dikatakan tak berdaya di hadapan polisi tadi (sebab Pak/Bu polisi tadi menangkap Pak/Bu dokter atas nama hukum, dan setiap orang harus tunduk terhadap hukum). Gambaran di atas akan dapat berubah sama sekali ketika Pak/Bu Polisi tadi menderita sakit dan datang kepada Pak/Bu dokter untuk berobat.
Demikian pula halnya dengan imposisi dari sebuah pertuturan; ia akan ditanggapi berbeda oleh mitra tutur menurut isinya. Misalnya, isi sebuah pertuturan yang meminta mitra tutur untuk menyodorkan tempat garam di atas meja makan akan dengan mudah dikabulkan. Lain halnya, misalnya, dengan pertuturan yang berisi permintaan penutur untuk meminjam mobil baru mitra tutur, yang tentu saja akan (sangat) sulit untuk dipenuhi.
Berbagai tantangan terhadap pernyataan Brown & Levinson tentang keuniversalan prinsip-prinsip kesantunan tadi telah bermunculan. Alasan para penentang itu, salah satunya, adalah karena prinsip-prinsip tadi pada kenyataannya lebih berdasarkan pada budaya penutur bahasa-bahasa di daratan Eropa, sekalipun kajian Brown & Levinson itu juga berdasarkan data yang diambil dari para penutur di Afrika dan Asia Selatan. Matsumoto (1988; 1989); Ide (1989); dan Hill dkk. (1986), misalnya, melihat analisis Brown & Levinson lebih pada nilai-nilai dalam konteks hubungan yang sangat individualistik, sedangkan pada budaya para penutur bahasa-bahasa di Asia, khususnya Jepang, justru nilai-nilai dan identitas kelompoklah yang lebih sering menonjol. Pada masyarakat Jepang, misalnya, prinsip utama dalam interaksi sosial diwujudkan dalam konsep social relativism yang di dalamnya mengandung “belongingness, empathy, dependency, proper place occupancy, and reciprocity” (Lebra 1976). Demikian pula dengan nilai-nilai dan budaya masyarakat Cina. Menurut Gu (1990) dan Mao (1994), makna keinginan negatif (negative face) dalam masyarakat Cina berbeda dengan yang dirumuskan oleh Brown & Levinson, sehingga model prinsip kesantunan Brown & Levinson pun tidak dapat serta merta diterapkan pada masyarakat Cina. Gu bahkan menilai prinsip pendekatan norma sosial yang dikemukakan oleh Leech (1983) lebih mengena sehingga dapat diterapkan dalam masyarakat Cina. Menurut Gu, kesantunan dalam bahasa dan budaya masyarakat Cina (moderen) bukanlah hanya instrumental melainkan (bahkan lebih penting) bernilai normative. Gu menyatakan bahwa kegagalan mematuhi prinsip kesantunan seperti itu akan mendatangkan sanksi sosial, dan ia percaya bahwa hal itu tidak hanya berlaku dalam masyarakat Cina tetapi juga berlaku dan memang ada dalam masyarakat manapun, sekalipun nilai-nilai itu dirumuskan secara berbeda.
Dalam bentuk yang berbeda dengan Brown & Levinson, Grice (1975) berpendapat bahwa tingkat kesantunan sebuah pertuturan justru ditentukan oleh kemampuan penutur dan mitra tutur untuk saling memahami dan menjalin kerjasama di antara keduanya melalui serangkaian prinsip, yang dia sebut dengan prinsip kerjasama (Cooperative Principle, CP). Dalam CP ini termuat beberapa maksim, yaitu sejumlah prinsip yang mesti ditaati oleh penutur dan mitra tutur ketika mereka berkomunikasi. Namun, menurut Allan (1991), maksim-maksim dari Grice itu bukanlah merupakan sebuah resep mati yang senantiasa harus diikuti atau sebuah aturan hukum yang mesti ditaati, tapi ia hanyalah sebuah “penuntun yang bisa dijadikan rujukan” untuk meraih sasaran komunikasi yang efektif dan santun. Maksim-maksim dari Grice itu dirumuskan sebagai berikut:
Maxim of Quantity:
- Make your contribution as informative as is required (for the current purposes of the exchange).
- Do not make your contribution more informative than is required.
Maxim of Quality: Try to make your contribution one that is true.
- Do not say what you believe to be false.
- Do not say that for which you lack adequate evidence.
Maxim of Relation: Be relevant.
Maxim of Manner: Be perspicuous
- Avoid obscurity of expression.
- Avoid ambiguity.
- Be brief (avoid unnecessary prolixity).
- Be orderly.
(Grice 1975: 45-46).
Grice yakin bahwa ketaatan seorang peserta pertuturan terhadap maksim-maksim di atas akan menjamin kelangsungan komunikasi yang santun. Akan tetapi, Grice sendiri tidak menutup kemungkinan akan adanya pelanggaran terhadap satu atau sejumlah maksim terterntu, dan hal ini akan dapat diatasi dengan mempertimbangkan faktor-faktor sosial sebagaimana diisyaratkan oleh Brown & Levinson di atas.
- 3. Korpus Data dan Metodologi Penelitian
Data untuk makalah ini diambil dari hasil dua penelitian yang dilakukan penulis pada tahun 1996 dan 2000. Penelitian pertama mengkaji cara-cara orang Sunda menyatakan penolakan dalam bahasanya sendiri, yakni Basa Sunda, sedangkan yang kedua dalam Bahasa Indonesia. Dalam penelitian kedua ini, para responden menyatakan bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling sering dipakai dalam komunikaasi sehari-hari, sedangkan Basa Sunda hanya sesekali saja.
Secara khusus, penelitian ini pada awalnya ditujukan untuk mengungkap reaksi umum orang Sunda (1996) dan orang Indonesia pada umumnya (2000) ketika mereka diminta melakukan suatu pekerjaan, padahal mereka sendiri sudah mempunyai komitmen lain yang harus dikerjakan dan tidak bisa ditinggalkan. Dengan kata lain, ketika dihadapkan pada situasi tersebut, para penutur (responden) itu (mestinya) akan menyatakan penolakannya. Tetapi, apakah selalu benar bahwa dalam setiap kesempatan seperti itu pertuturan yang akan muncul selalu merupakan ungkapan penolakan? Kalau bukan ungkapan penolakan yang muncul, misalnya saja ungkapan mengiyakan, apa yang melatarbelakangi penerimaan itu? Karena menolak itu akan melanggar prinsip-prinsip keharmonisan komunikasi, yakni karena adanya pelanggaran terhadap keinginan positif mitra tutur, strategi kesantunan seperti apa yang akan diterapkan oleh seorang penutur dalam penolakannya itu? Selanjutnya, apakah ada perbedaan yang mencolok dalam hal strategi kesantunan yang diterapkan oleh para penutur yang berbeda jenis kelamin, usia, pekerjaan, ataupun latar belakang bahasanya? Dalam makalah ini, hanya akan dibahas realisasi pertuturan yang dibuat oleh orang Sunda beserta implikasi kesantunannya ditinjau dari prinsip-prinsip kesantunan bahasa yang ada.
Penelitian ini melibatkan sampel sebanyak 181 orang Sunda (112 orang pada penelitian pertama, dan 59 orang pada penelitian kedua) yang diambil secara acak dengan memperhatikan berbagai faktor yang dianggap perlu, seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan penyebaran mereka dalam komunitas tuturnya (speech community). Sampel untuk penelitian pertama diambil dari penutur yang tinggal, terutama, di wilayah Bandung dan Priangan Timur, sedangkan untuk penelitian kedua di tiga kota besar dengan karakteristik daerah masing-masing yang memang unik, yaitu Jakarta, Bandung, dan Bekasi.
Data dipeoleh dengan menggunakan tiga cara yang berbeda, yaitu melalui pengisian angket (questionnaires), wawancara (interviews), dan observasi langsung (participant observations). Angket isian yang dimaksud adalah berupa Discourse Completion Test (DCT) (Blum-Kulka 1985, 1989). Angket ini dibuat dalam bentuk perintah kepada responden untuk mengisi bagian tertentu yang khusus dikosongkan, setelah sebelumnya ada wacana yang mendeskripsikan sebuah skenario. Responden diminta bereaksi dengan cara menuliskan wujud pertuturannya pada bagian kosong yang telah disediakan. Karena bagian kosong ini diikuti oleh contoh pertuturan yang mungkin dibuat oleh mitra tutur, maka tidak ada kemungkinan pilihan lain bagi responden kecuali mengisi bagian kosong tadi dengan tindak tutur penolakan atas permintaan mitra tuturnya. Pada penelitian pertama, angket ditulis dalam Basa Sunda, sedangkan pada penelitian kedua berbahasa Indonesia. Pada penelitian kedua, DCT tadi dimodifikasi dan kemudian dibuat dalam tiga jenis (lihat Aziz 2000a, b untuk penjelasan mengenai penyempurnaan terhadap DCT ini). Contoh DCT yang dipakai pada penelitian ini:
Anda sudah berada di depan garasi dan siap berangkat ke kantor. Tiba-tiba seorang tetangga dekat Anda (laki-laki sebaya dengan Anda) bersama dengan seorang anak perempuannya yang sakit datang menghampiri. Dia meminta tolong Anda untuk mengantarkannya ke rumah sakit. Karena Anda harus mengikuti sebuah rapat yang sangat penting, Anda tidak mungkin bisa mengantarkannya. Apa yang akan Anda katakan kepada tetangga tersebut?
Anda : ____________________________________________________________________________
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________________ .
Tetangga Anda: Oh, nggak apa-apa. Saya akan minta tolong tetangga lain aja.
Wawancara dilakukan setelah semua angket terkumpul dan dibuat analisisnya. Wawancara ini terutama dimaksudkan untuk meminta penjelasan dari para responden tentang jawaban yang telah mereka buat sebelumnya pada angket isian. Akan tetapi, karena jumlah responden yang begitu banyak, wawancara hanya dilakukan terhadap para responden yang, menurut analisis peneliti, jawabannya menarik untuk ditindaklanjuti dengan wawancara.
Observasi langsung untuk mendapatkan data yang relevan dengan penelitian ini sebenarnya telah diupayakan dalam berbagai kesempatan. Misalnya, peneliti berada dalam lingkungan perkantoran, terminal bis/angkutan kota, pasar, kampus, bahkan rumah sakit, untuk mengumpulkan data. Sayangnya tidak diperoleh data yang cukup untuk dijadikan bahan perbandingan dalam analisis dengan data yang diperoleh melalui angket isian.
- 4. Temuan dan Pembahasan
Analisis terhadap data yang diperoleh melalui angket isian, wawancara, dan pengamatan langsung menunjukkan bahwa ada tiga jenis reaksi yang ditunjukkan oleh orang Sunda ketika mereka dihadapkan pada situasi seperti digambarkan dalam angket isian, yaitu 1) menolak; 2) menerima; dan 3) diam. Reaksi menolak dan menerima ditunjukkan melalui sejumlah strategi, baik secara langsung dan lugas maupun terselubung (tak langsung). Sebuah reaksi menolak yang lugas ditandai oleh pemakaian ungkapan negasi tidak bisa (Ind.) atau (hen)teu tiasa (Sunda) atau sejenisnya secara jelas. Sedangkan penolakan terselubung dinyatakan dalam bentuk selain itu. Sekalipun tidak ditemukan adanya penegasi, apabila jawaban dari responden itu kita analisis, maka jawaban-jawaban itu, baik head act-nya ataupun supportive moves-nya (Blum-Kulka, dkk 1989), keduanya mengindikasikan sebuah penolakan. Penelitian ini menemukan adanya sebelas jenis strategi menolak secara terselubung. Demikian pula jawaban mengiyakan, ia akan dinyatakan baik secara lugas maupun terselubung, yang dalam penelitian ini ditemukan adanya empat strategi yang berbeda. Sementara itu, reaksi ‘diam’ dilakukan karena penutur memang memiliki sejumlah alasan yang memaksanya untuk tetap diam (lihat Aziz 2000a,b untuk penjelasan mengenai setiap strategi baik menolak, menerima, ataupun diam, baik yang lugas maupun terselubung). Makalah ini hanya akan membahas realisasi pertuturan menolak dalam kaitannya dengan strategi kesantunan bahasa.
Analisis terhadap data dalam angket isian dan wawancara dengan sejumlah responden menunjukkan bahwa paling sedikit ada lima jenis variabel sosial yang sangat mempengaruhi orang Sunda dalam merealisasikan pertuturan menolak. Kelima variabel sosial itu, walaupun beberapa di antaranya hanya dinyatakan secara tersirat saja, sebenarnya telah tercakup dalam ketiga variabel soial dalam rumusan P, D, dan R dari Brown & Levinson (1987). Dalam pembahasan di bawah ini, kita akan melihat seberapa jauh variabel-variable itu mempengaruhi realisasi pertuturan dalam masyarakat Sunda.Untuk menentukan tingkat kesantunan sebuah pertuturan, penelitian ini menggunakan empat parameter, yaitu 1) kelugasan, 2) kata sapaan, 3) basa-basi, dan 4) bahasa prokem.
4.1.Perbedaan usia
Penelitian ini membagi responden menjadi tiga kelompok usia, yaitu a) kelompok muda (sampai dengan usia 30 tahun), b) kelompok setengah baya (31 – 40 tahun), dan c) kelompok lebih tua (41 tahun ke atas). Analisis terhadap jawaban yang diberikan oleh ketiga kelompok usia tersebut menunjukkan adanya beberapa perbedaan yang mencolok dalam hal strategi bertutur, yang tentunya berimplikasi terhadap tingkat kesantunannya. Kelompok pertama, misalnya, cenderung menggunakan jawaban-jawaban lugas tanpa basa-basi ketika membuat penolakan, apalagi terhadap mitra tutur yang lebih muda. Pada pertuturan mereka jarang ditemukan adanya kesadaran bahwa pertuturannya itu berpotensi membuat mitra tuturnya kehilangan muka. Selain itu, mereka juga seringkali tanpa segan-segan mengkritik atau bahkan menyalahkan mitra tuturnya dengan ungkapan-ungkapan kasar, apalagi terhadap mitra tutur yang sudah (sangat) akrab. Namun demikian, dari sudut pandang mereka sendiri, pertuturan semacam itu bukanlah merupakan bentuk ketidaksantunan, melainkan merupakan sebuah wujud keakraban antara mereka dan mitra tuturnya. Alasan seperti ini mereka tunjukkan, misalnya, ketika berbicara dengan mitra tutur yang belum dikenal, yang senantiasa menggunakan strategi dan ungkapan yang lebih santun. Demikian pula ketika mereka berhadapan dengan mitra tutur yang lebih tua, apalagi perbedaan usianya cukup jauh, mereka senang berbasa-basi dengan jawaban memutar. Selain itu, mereka juga akan menambahkan berbagai ungkapan pelembut yang tujuannya untuk memperhalus pertuturannya. Mereka nampaknya menyadari benar bahwa menolak secara langsung dan lugas sangatlah tidak mungkin, sebab hal itu tidak sopan dan akan menyakiti perasaan mitra tuturnya. Ketidakmungkinan itu bukanlah karena mereka tidak bisa bertutur lugas, tapi hal itu justru karena mereka sedang bertutur dengan orang yang lebih tua. Alasannya adalah mereka percaya bahwa orang yang lebih tua haruslah dihormati.
Kelompok kedua dan ketiga juga mempunyai kesadaran kesantunan yang mirip dengan kelompok pertama, walaupun mereka berbeda dalam menerapkan strategi bertutur. Mereka ini, sekalipun sedang bertutur dengan mitra tutur yang lebih muda, jarang membuat penolakan secara langsung dan lugas, melainkan cenderung membuat penolakan secara berbelit-belit dan nampak sangat berhati-hati. Di samping itu, alih-alih mengkritik, mereka justru lebih suka memberikan jawaban berisi alternatif lain agar keinginan mitra tuturnya tetap dapat dipenuhi. Kemudian, kalau mereka benar-benar tidak dapat memenuhi permintaan mitra tuturnya, mereka akan memberikan alasan yang jelas. Cara seperti ini justru lebih nampak ketika mereka bertutur dengan mitra tutur yang lebih tua, tanpa mempedulikan status sosial mereka sendiri. Misalnya, seorang pimpinan perusahaan tetap nampak sangat sopan ketika bertutur dengan bawahannya, hanya karena bawahan tadi berusia lebih tua daripadanya. Padahal, ketika bertutur dengan sejawatnya, dia lebih banyak menggunakan bahasa yang lugas ditambah dengan ungkapan-ungkapan penanda keakraban.
4.2.Perbedaan jenis kelamin
Selain faktor usia, perbedaan jenis kelamin penutur dan mitra tuturnya juga nampak mempengaruhi realisasi pertuturan Ki Sunda. Hal itu tergambar dari strategi dan ungkapan yang dipakai oleh Ki Sunda ketika mereka bertutur dengan mitra tutur yang berbeda jenis kelamin. Perbedaann realisasi pertuturan tersebut nampaknya bukanlah gejala yang serba kebetulan dan manasuka, tapi justru berasal dari kesadaran penuturnya sendiri. Artinya, sebelum bertutur, seorang penutur akan dengan sangat hati-hati mempetimbangkan dengan siapa dia bertutur, apakah dengan seorang laki-laki atau dengan perempuan.
Ketika sedang bertutur dengan mitra tutur yang sejenis kelamin, misalnya, seorang penutur akan selalu menunjukkan solidaritas yang tinggi, memakai ungkapan-ungkapan penanda keakraban dan cenderung menggunakan strategi yang tidak konfrontasional. Sebaliknya, ketika bertutur dengan mitra tutur yang berbeda jenis kelamin, seorang penutur akan nampak menjaga jarak, lebih formal, dan memakai ungkapan-ungkapan pendek. Pola pertuturan lain dari Ki Sunda berdasarkan jenis kelamin penutur dan mitra tuturnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Laki-laki |
Perempuan
|
|
Laki-laki
- Selalu menghindari strategi yang konfrontasional ketika menyampaikan penolakan, sekalipun ketika ingin mengiyakan sebuah permintaan tidak mesti selalu dengan ungkapan yang lugas, melainkan selalu menunjukkan keragu-raguan atau keengganan;
- Selalu menunjukkan keinginan yang kuat untuk menjaga keharmonisan hubungan dan rasa solidaritas, dan selalu berusaha mengkompromikan sebuah permintaan;
- Cenderung menggunakan kata sapaan keakraban, tapi jarang berbasa-basi.
- Selalu menghindari strategi yang konfrontasional ketika menyampaikan penolakan, bahkan, sebaliknya, selalu menunjukkan kepedulian terhadap permintaan mitra tutur, sehingga nampak siap untuk mengabulkannya;
- Setiap ungkapan penolakan selalu diikuti oleh permohonan maaf;
- Selalu menunjukkan keinginan menjaga jarak dan lebih formal;
- Cenderung menggunakan kata sapaan resmi dan (sedikit) berbasa-basi;
- Cenderung memakai ungkapan pendek-pendek yang menunjukkan keengganan penutur;
- Tidak nampak adanya kehangatan, sehingga sering nampak kaku.
Perempuan
- Cenderung menggunakan strategi dan ungkapan yang lugas ketika menolak, walaupun seringkali diikuti oleh rasa penyesalan dan permohonan maaf;
- Selalu menunjukkan keinginan menjaga jarak dan menunjukkan kewenangan yang dimilikinya, ditunjukkan melalui pemakaian kata-kata sapaan resmi;
- Cenderung menggunakan ungkapan yang jelas baik ketika menolak maupun menerima sebuah permintaan.
- Cenderung menggunakan strategi yang diplomatis ketika menolak diikuti oleh ungkapan-ungkapan pelembut;
- Cenderung menunjukkan keinginan untuk mengkompromikan sebuah permintaan sehingga bisa terpenuhi;
- Cenderung menggunakan kata sapaan akrab untuk menunjukkan rasa solidaritas yang tinggi dengan mitra tuturnya;
- Selalu menunjukkan kehangatan dan keramahan ketika menyampaikan penerimaan, dan selalu menunjukkan penyesalan ketika harus menolak.
Tabel 1: Ciri-ciri komunikasi antara penutur dan mitra tutur menurut jenis kelaminnya
Dari dudut pandang kesantunan berbahasa, pola komunikasi seperti digambarkan di atas tentu saja mempunyai derajat kesantunan yang berbeda. Secara umum dapat disebutkan bahwa derajat kesantunan yang lebih tinggi akan ditunjukkan ketika Ki Sunda bertutur dengan mitra tutur yang sejenis kelamin, dan sebaliknya. Hal ini diperkuat oleh keinginan penutur dalam menjalin keakraban dan rasa solidaritas terhadap mitra tutur yang sejenis kelamin, selain pemakain ungkapan-ungkapan yang ‘ringan’ dan nampak/kedengaran santai. Bagaimanapun, kenyataan seperti ini menunjukkan adanya niat bersantun bahasa yang berbeda dari penuturnya, yang ternyata hal itu dipengaruhi oleh pertimbangan penutur tentang siapa (baca: berjenis kelamin apa) yang menjadi mitra tuturnya.
4.3.Jarak sosial
Derajat keakraban Ki Sunda dengan mitra tuturnya ternyata berpengaruh kuat terhadap realisasi kesantunan berbahasanya. Derajat keakraban meru[akan faktor sosial yang harus simetris (Brown & Levinson, 1987), artinya tingkat keakraban dan rasa solidaritas yang diakui oleh seseorang harus juga dirasakan secara sama oleh mitra tuturnya secara timbal balik. Seseorang tidak bisa mengakui bahwa dia akrab dengan orang lain, padahal orang ini tidak mengakui keakraban tersebut, dan demikian pula sebaliknya.
Secara umum dapat digambarkan bahwa semakin rendah derajat keakraban Ki Sunda dengan mitra tuturnya, maka semakin tinggi derajat kesantunan berbahasa Ki Sunda. Hal ini terlihat, misalnya, dari cara Ki Sunda menggunakan strategi menolak permintaan dari mitra tuturnya. Kalau permintaan itu datang dari orang yang sangat dikenal dan akrab dengannya, misalnya seorang teman dekat, maka Ki Sunda tak segan-segan akan menggunakan strategi menolak yang sangat lugas tanpa banyak berbasa-basi. Bahkan, kata sapaan yang dipakai pun merupakan pertanda bahwa Ki Sunda sangat ‘wanoh’ dengan mitra tuturnya itu. Tambahan lagi, dalam situasi seperti itu, dalam kelugasannya itu, Ki Sunda tak lupa menyelipkan kata-kata ‘guyonan’ khasnya. Oleh karenanya, kelugasan Ki Sunda tersebut oleh mitra tuturnya tidak dipandang sebagai sebuah bentuk ketaksantunan, melainkan sebaliknya, yaitu pertanda kehangatan Ki Sunda dalam bergaul dengan mitra tuturnya.
Sebaliknya, dengan mitra tutur yang belum akrab atau yang belum dikenalnya sama sekali, Ki Sunda nampak selalu ingin menjaga kehormatan mitra tuturnya, selain tentunya merupakan isyarat bahwa Ki Sunda pun merupakan sosok yang terhormat. Hal ini ditunjukkan dalam cara Ki Sunda menggunakan strategi menolak yang penuh dengan kata-kata pelembut, dan hampir selalu menghindari pemakaian kata TIDAK secara langsung. Akan tetapi, kalau terpaksa harus menyatakan penolakan secara tegas, Ki sunda akan menyertai ungkapannya dengan permohonan maaf dan menjelaskan alasan penolakannya. Seringkali, dalam alasan yang disampaikannya itu tergambar penyesalannya karena tidak dapat mengabulkan permintaan mitra tuturnya. Tentu saja, hal itu akan menjadi isyarat bahwa Ki Sunda sebenarnya adalah sosok yang ringan tangan, ingin selalu membantu orang lain, dan bekerja sama dalam menyelesaikan sebuah masalah. Namun, hanya karena berbagai alasan yang sangat masuk akal, maka Ki Sunda dengan berat hati harus ‘tega’ menolak permintaan mitra tuturnya.
Bagaimanapun, cara Ki Sunda bertutur menolak seperti itu merupakan wujud kesadarannya akan pentingnya menjaga rasa persahabatan dengan mitra tuturnya. Artinya, untuk tidak melukai hati mitra tuturnya, Ki Sunda akan berusaha menggunakan cara lain yang bisa ia lakukan untuk mengimbangi kelugasannya. Hal ini mengisyaratkan bahwa Ki Sunda, disamping merupakan sosok yang bisa lugas dan tegas, juga merupakan sosok yang selalu memperhitungkan perasaan mitra tutur. Persahabatan, bagi Ki Sunda, merupakan hal yang teramat penting untuk dijadikan modal dalam membangun hidup yang harmonis di dalam masyarakat.
4.4.Kewenangan relatif
Tingkat kewenangan relatif penutur terhadap mitra tuturnya adalah faktor lain yang mempengaruhi realisasi kesantunan pertuturan Ki Sunda. Seseorang dikatakan berdaya manakala ia mempunyai kewenangan yang lebih besar terhadap mitra tuturnya, yang pada akhirnya dapat mengendalikan mitra tuturnya itu. Sebaliknya, seseorang dikatakan tak berdaya apabila ia tak banyak memiliki kewenangan apalagi mengendalikan mitra tuturnya.
Strategi yang dipakai Ki Sunda dalam menolak permintaan dari mitra tuturnya dikaitkan dengan faktor kewenangan relatif penuturnya menunjukkan adanya keragaman (flexibility) yang disesuaikan dengan tujuan (purposeful) pertuturannya. Akan tetapi, dari sejumlah keragaman itu, kita dapat melihat adanya pola umum, yakni, ketika Ki Sunda berhadapan dengan mitra tutur yang kurang berdaya, maka Ki Sunda cenderung menggunakan strategi penolakan yang lugas, bahkan seringkali tanpa basa-basi lagi. Kata-kata pelembut pun bahkan jarang dipakai. Akan tetapi, hal ini tidak berdiri sendiri, sebab sekalipun Ki Sunda berada pada posisi yang lebih berdaya dari segi kewenangan untuk mengendalikan mitra tuturnya, misalnya karena dia menjadi atasan mitra tuturnya, maka kalau mitra tutur tadi berusia lebih tua dari Ki Sunda, strategi yang dipakai untuk menolak sebuah permintaan adalah strategi yang tak langsung. Menyertai strategi ini adalah ungkapan pelembut untuk mengurangi kemungkinan hilangnya muka mitra tuturnya. Artinya, tingkat kewenangan relatif yang dimiliki Ki Sunda tidak serta merta dapat digunakan untuk bertutur secara kurang santun terhadap mitra tuturnya, dan justru kewenangan tersebut tunduk kepada faktor sosial lain, khususnya senioritas (usia) mitra tutur.
Adapun terhadap mitra tutur yang lebih berdaya daripadanya atau terhadap yang sederajat dengannya, Ki Sunda senantiasa memakai strategi yang tak langsung dan ungkapannya dibungkus oleh kata-kata pelembut. Ada satu hal menarik yang perlu disampaikan di sini. Ketika bahasa yang dipakai adalah Basa Sunda, maka terhadap mitra tutur yang lebih muda daripadanya, sekalipun si mitra tutur itu memiliki tingkat kewenangan relatif yang lebih besar, maka Ki Sunda cenderung tidak menggunakan basa lemes, melainkan basa panengah. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam masyarakat Sunda sudah ada konsensus bersama bahwa faktor usia (senioritas) lebih berpengaruh ketimbang kedudukan bila dikaitkan dengan realisasi kesantunan berbahasa. Walaupun ketika berbahasa Indonesia pengaruh konsensus tersebut tidak nampak terlalu jelas, kita masih akan dapat menemukan gejala-gejala tersebut pada setiap pertuturan Ki Sunda.
4.5.Tingkat imposisi pertuturan
Tingkat imposisi pertuturan dalam studi ini mengacu pada berapa besar pengorbanan yang harus diberikan oleh seseorang kalau dia ingin mengabulkan permintaan mitra tuturnya. Pengorbanan di sini dapat berupa barang atau jasa. Studi kali ini mengelompokkan jenis pengorbanan pada tiga jenis, yaitu ringan, sedang, dan berat. Dalam membuat penolakan, memang Ki Sunda sangat memperhatikan tingkat imposisi pertuturan yang didengarnya, walaupun gejala yang nampak jelas adalah bahwa perhatian itu lebih berorientasi pada dirinya (speaker’s oriented). Artinya, ketika menolak permintaan mitra tutur, yang diperhatikan oleh Ki Sunda adalah tingkat kerugian yang akan dideritanya apabila ia mengabulkan permintaan mitra tuturnya. Kerugian itu bisa berupa materi atau sanksi sosial. Dan yang lebih diperhatikan oleh Ki Sunda adalah yang belakangan itu, yaitu sanksi sosial. Artinya, sekalipun dia akan menderita kerugian secara materi, kalau pada akhirnya dia harus mendapatkan sanksi sosial karena tidak mengabulkan permohonan mitra tuturnya, maka Ki Sunda rela mengorbankan kepentingan dirinya, sehingga yang penting dia akan bisa terhindar dari sanksi sosial itu.
Dalam sebuah skenario, misalnya, Ki Sunda sudah siap akan berangkat ke kantor dan punya tugas memimpin rapat yang sangat penting. Tiba-tiba, tetangganya datang menghampiri, dan meminta tolong untuk mengantarkannya ke rumah sakit, karena anaknya sakit keras. Dalam kondisi seperti ini, Ki Sunda punya kecenderungan untuk tidak mampu menolak, mengingat sanksi sosial yang akan dia derita terlalu besar, kalau dia tidak mengabulkan permintaan tetangga tadi. Walaupun pada akhirnya dia harus menolak, maka penolakannya pasti akan disampaikan dengan cara yang sangat santun, yang pada akhirnya dia akan mencarikan jalan keluar agar permintaan mitra tuturnya itu dapat terpenuhi.
Adapun dalam kondisi yang wajar, yakni tingkat imposisi yang dia terima tidak terlalu berat, maka tak ada halangan bagi Ki Sunda untuk menolaknya secara tegas. Bahasa yang dipakainya pun sering kali sangat lugas. Sedangkan untuk imposisi yang berat, Ki Sunda tetap cenderung untuk menggunakan strategi menolak yang tak langsung. Namun sebagaimana disampaikan di atas, tingkat imposisi bukanlah faktor yang berdiri sendiri, sehingga strategi penolakan akan hanya ditentukan olehnya.
- 5. Prinsip Kesantunan dalam Masyarakat Sunda
Hasil analisis terhadap data yang diperoleh dari kedua studi yang dilaporkan di sini menunjukkan bahwa masyarakat Sunda mempunyai prinsip kesantunan berbahasa yang nilai-nilainya bisa berlaku universal. Artinya, prinsip itu tidak hanya berlaku khusus bagi orang Sunda, sebab pada kenyataannya prinsip itu nampak mendasari semua prinsip kesantunan berbahasa yang selama ini sudah dikemukakan oleh para peneliti kesantunan berbahasa. Melihat cara Ki Sunda bertutur, khususnya dalam membuat penolakan, maka kita dapat merumuskan prinsip kesantunan Ki Sunda itu dalam sebuah Prinsip Saling Tenggang Rasa. Artinya, ketika Ki Sunda bertutur, nampak sekali bahwa ia sangat memperhitungkan perasaan mitra tuturnya. Dia sangat berhati-hati, dan sangat khawatir kalau-kalau ungkapan yang dipakainya melukai perasaan mitra tuturnya, tak peduli dengan siapa dia sedang bertutur. Dengan kata lain, keharmonisan hubungan dengan mitra tutur menjadi faktor yang sangat mempengaruhi realisasi kesantunan berbahasa Ki Sunda.
Secara operasional, kita dapat merumuskan prinsip kesantunan berbahasa Ki Sunda tadi seperti berikut ini:
a) Terhadap mitra tutur Anda, gunakanlah bahasa yang Anda sendiri pasti akan senang mendengarnya ketika bahasa itu sedang digunakan orang lain kepada Anda;
dan sebaliknya
b) Terhadap mitra tutur Anda, janganlah menggunakan bahasa yang Anda sendiri pasti tidak akan menyukainya apabila bahasa tersebut digunakan orang lain kepada Anda.
Ada sejumlah nilai dan sub-prinsip yang mendasari prinsip kesantunan berbahasa tersebut, yaitu:
- Prinsip kekuatan untuk melukai dan membahagiakan;
Artinya, sebuah ekspresi bahasa memiliki potensi bahwa ia akan mampu membuat seseorang merasa terlukai atau tersanjung dibahagiakan. Oleh karenanya, berhati-hatilah menggunakan ekspresi bahasa.
- Prinsip berbagi rasa;
Artinya, mitra tutur kita memiliki perasaan sebagaimana layaknya kita. Oleh karenanya, ketika bertutur menggunakan ekspresi bahasa, pertimbangkanlah perasaan mitra tutur itu sebagaimana layaknya kita mempertimbangkan perasaan kita sendiri.
- Prinsip kesan pertama;
Artinya, penilaian mitra tutur kita terhadap tingkat kesantunan berbahasa kita pada dasarnya ditentukan oleh kesan pertama yang dia dapatkan tentang prilaku berbahasa kita ketika dia berkomunikasi dengan kita untuk pertama kalinya. Oleh karena itu, tunjukkanlah bahwa kita punya niat baik untuk bekerja sama dan berkomuniksi dengannya.
- Prinsip keberlanjutan;
Artinya, keberlanjutan hubungan kita dengan mitra tutur pada dasarnya ditentukan oleh cara kita bertransaksi melalui komunikasi pada saat ini. Oleh karenanya, upayakan agar kita bisa membangun rasa saling percaya.
Seperti halnya pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kooperatif yang dikembangkan oleh Grice (1975) yang akan mengakibatkan tidak efektifnya komunikasi atau ketaksantunan, maka pelanggaran terhadap Prinsip Saling Tenggang Rasa pun mempunyai akibat yang serupa, bahkan mungkin lebih serius lagi (lihat Aziz 2000a untuk pembahasan masalah ini). Seperti disampaikan di atas, sanksi sosial sangat menjadi perhatian Ki Sunda dalam bertutur. Maka, pelanggaran terhadap Prinsip Saling Tenggang Rasa pun akan memberikan sanksi sosial yang cukup fatal.
- 6. Kesimpulan
Dalam makalah ini, kita telah membahas berbagai variabel sosiolinguistik yang berperan dalam menentukan tingkat kesantunan berbahasa Ki Sunda ketika ia menolak sebuah permintaan dari mitra tuturnya. Dari pembahasan itu kita dapat mengambil beberapa kesimpulan, di antaranya:
- Strategi penolakan yang dipakai oleh Ki Sunda sangatlah beragam alias fleksibel, dan keragaman itu disesuaikan dengan faktor-faktor sosial yang menyertai realisasi pertuturannya.
- Di antara sejumlah faktor sosial itu, kita telah mengidentifikasi lima di antaranya, yaitu perbedaan usia, jenis kelamin, jarak sosial, tingkat kewenangan relatif, dan tingkat imposisi pertuturan. Dari kelima variabel sosial tersebut, senioritas mitra tutur di hadapan penutur merupakan faktor yang paling menentukan realisasi kesantunan berbahasa Ki Sunda. Artinya, keempat variabel sosial lainnya akan tunduk pada kenyataan bahwa Ki Sunda tidak akan terlalu peduli dengan variabel-variabel itu, kalau variabel usia menjadi salah satu di antara yang harus diperhitungkan. Misalnya, kedudukan yang tinggi seorang mitra tutur tidak akan menjadi penghalang bagi Ki Sunda untuk menggunakan basa panengah atau bahasa Indonesia yang tidak disertai dengan ungkapan-ungkapan pelembut. Sebaliknya, penutur yang lebih muda tersebut akan cenderung menggunakan ungkapan-ungkapan yang sangat santun apabila dia berhadapan dengan mitra tutur yang lebih tua.
- Dalam masyarakat Sunda ditemukan adanya sebuah prinsip kesantunan berbahasa yang nilai-nilainya tidak hanya berlaku di lingkungan sendiri, tetapi justru dapat diterapkan pada semua masyarakat penutur bahasa. Pelanggaran terhadap prinsip kesantunan itu, yang kita sebut sebagai Prinsip Saling Tenggang Rasa, akan memberikan akibat yang sangat serius, yaitu berupa sanksi sosial dari mitra tutur, khususnya, atau dari anggota masyarakat penutur bahasa itu pada umumnya. Sanksi sosial merupakan faktor yang mendorong Ki Sunda untuk tetap taat pada prinsip kesantuan berbahasa. Dari sini kita dapat mengatakan bahwa masyarakat Sunda adalah masyarakat yang sangat komunal, mendahulukan kebersamaan dan keharmonisan tatanan masyarakat.
- 7. Daftar Pustaka
Allan, K. 1991. Cooperative principle. In W. Bright (ed.). Oxford International Encyclopedia of linguistics, vol.1. NY.: Oxford University Press.
Aziz, E. A. 1996. The language of refusals in Sundanese society: a workplace case. Tesis MA, tidak diterbitkan. Department of Linguistics, Monash University.
_______. 2000a. Refusing in Indonesian: strategies and politeness implications. Tesis Ph.D. tidak diterbitkan. Department of Linguistics: Monash University.
_______. 2000b. “Usia, jenis kelamin, dan masalah kesantunan dalam berbahasa Indonesia”. Dalam A. Chaedar Alwasilah & Khalid A. Harras (eds.). Prosiding Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBIPA) III. Bandung: Andira.
Blum-Kulka, S., J. House & G. Kasper (eds.). 1989. Cross-cultural pragmatics: requests and apologies. Norwood, NJ: Ablex.
Brown, P & S.C. Levinson. 1987. Politeness: some universals in language usage. Cambridge: Cambridge University Press.
Goodenough, W. 1969. “Rethinking ‘status’ and ‘role’: toward a general model of the cultural organization of social relationships”. Dalam S.A. Tyler (ed.). Cognitive anthropology. NY: Holt, Rinehart, and Winston.
Grice, H.P. 1975. Logic and conversation. In P. Cole & J.L. Morgan (eds). Syntax and Semantics 3: speech acts. NY.: Academic Press.
Gu, Yueguo. 1990. “Politeness phenomena in modern Chinese”. Journal of Pragmatics, 14, 237-257.
Hill, B., S. Ide, S. Ikuta, A. Kawasaki & T. Ogino. 1986. “Universals of linguistic politeness: quantitative evidence from Japanese and American English”. Journal of Pragmatics, 10, 347-371.
Ide, S. 1989. “Formal forms and discernment: two neglected aspects of linguistic politeness”. Multilingua, 8, 223-248.
Lebra, Takie S. 1976. Japanese patterns of behavior. Honolulu, HI: University of Hawai’i Press.
Leech, G.N. 1983. Principles of pragmatics. London: Longman.
Mao, L.R. 1994. “Beyond politeness theory: ‘face’ revisited and renewed”. Journal of Pragmatics, 21, 451-486.
Matsumoto, Y. 1988. “Reexamination of the universality of face: politeness phenomena in Japanese”. Journal of Pragmatics, 12, 403-426.
Miller, R.A. 1967. The Japanese language. Chicago: Chicago University Press.
[1] Makalah disajikan pada Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) I, di Bandung, Desember 2001.
[2] Istilah Ki Sunda dipakai di sini untuk menunjuk pada orang Sunda pada umumnya, bukan hanya kepada laki-laki. Untuk penjelasan mengenai istilah Ki Sunda, lihat misalnya tulisan Uu Rukmana pada HU Pikiran Rakyat Mei 2001.
[3] Lihat paparan tentang karakter manusia Sunda yang disampaikan oleh Ajip Rosidi dalam Manusia Sunda.
[4] Walaupun dari sisi penutur tidak selalu bermakna dan bertujuan negatif, ‘kemunafikan’ berbahasa merupakan gejala berbahasa yang dari sisi penanggap tutur lebih banyak mengandung ketakjelasan makna. Biasanya seorang penutur akan dengan sengaja membiarkan mitra tuturnya menangkap implikatur pertuturannya. Keengganan penutur mengungkapkan maksud pertuturannya secara jelas biasanya dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar sistem bahasa, melainkan oleh faktor-faktor sosial kemasyarakatan.