Oleh : E. Aminudin Aziz & Iwa Lukmana
Abstrak
Masalah yang timbul dalam komunikasi lintas budaya dapat bersumber dari ketidakpahaman para peserta komunikasi akan aturan main yang berlaku dalam bahasa yang dipakai untuk komunikasi tersebut. Potensi kemunculan masalah dapat meningkat apabila komunikasi melibatkan penutur asli dengan non-penutur asli. Salah satu aspek yang sangat berpotensi untuk menjadi sumber kesalahpahaman di antara para peserta tutur adalah pola realisasi pertuturan.
Tulisan ini melaporkan hasil kajian terhadap kewajaran komunikasi pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing dalam realisasi pertuturan meminta, menolak, dan memohon maaf. Penelitian ini berupaya mengidentifikasi realisasi tiga jenis pertuturan tersebut, menakar tingkat kewajarannya, dan mengkaji variabel-variabel sosial yang melatarbelakanginya. Ditemukan bahwa pola-pola pertuturan yang dihasilkan para responden secara umum telah memenuhi kriteria kesantunan. Adapun variabel sosial yang paling mempengaruhi realisasi pertuturan para responden adalah hubungan keakraban antara penutur dengan mitra tuturnya, diikuti oleh kekuasaan relatif penutur terhadap mitra tuturnya dan tingkat imposisi sebuah pertuturan. Berdasarkan temuan dari penelitian ini, diajukan beberapa saran, baik yang bersifat teoritis-metodologis maupun praktis.
1. Latar belakang
Akhir-akhir ini komunikasi lintas budaya tampaknya sudah menjadi semakin umum. Sayangnya, sering kali komunikasi seperti ini diwarnai oleh berbagai masalah, yang kadang-kadang berbuntut pada kesalahpahaman. Salah satu sumber masalahnya adalah ketidakpahaman para peserta komunikasi akan aturan main yang berlaku dalam bahasa yang dipakai untuk komunikasi tersebut. Fenomena ini sering dijumpai terutama dalam komunikasi yang melibatkan penutur asli dengan non-penutur asli, termasuk dalam kategori ini para pembelajar bahasa. Dalam menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa asing, misalnya, mereka dapat dianggap tidak sopan hanya karena satu hal ‘kecil’ saja, seperti kata please yang tidak diungkapkan secara eksplisit manakala mereka meminta mitra tutur melakukan sesuatu (lihat White 1993). Patut diduga bahwa ‘kelalaian’ tersebut bersumber dari ketidaksadaran dan ketidaksengajaan, mungkin karena mereka belum terbiasa dengan kebiasaan seperti itu atau belum memahami aturan yang berlaku dalam bahasa sasaran.
Masalah lain yang sangat berpotensi untuk menjadi sumber kesalahpahaman di antara para peserta tutur adalah pola realisasi pertuturan itu sendiri. Sebuah permintaan dalam bahasa Inggris, misalnya, tidak selalu disampaikan dalam bentuk kalimat perintah, tapi dapat juga diungkapkan dengan menggunakan kalimat tanya atau bahkan kalimat pernyataan. Ungkapan seperti [a], yang nota bene merupakan kalimat pernyataan, dapat digunakan sebagai permintaan terhadap mitra tutur untuk menutup jendela. Namun maksud penutur yang terkandung dalam ungkapan tersebut dapat saja disalahtafsirkan. Misalnya, mitra tutur meresponnya dengan mengatakan I don’t think so atau It’s just nice, I suppose. Dalam kasus ini jelas bahwa jawaban ini tidak ‘nyambung’ dengan apa yang diharapkan oleh penuturnya.
[a] It’s very cold in here.
Sebetulnya untuk mengungkapkan maksud tersebut penutur dapat menggunakan cara yang lebih langsung, seperti menggunakan kalimat perintah pada ujaran [b]. Ujaran yang berbentuk kalimat tanya, seperti [c] dan [d], tidak selangsung kalimat perintah, namun dapat dikatakan lebih langsung dibanding kalimat pernyataan. Lewat pengungkapan yang tidak langsung, penutur mungkin ingin tampak ‘lebih arif’.
[b] Close the window!
[c] Can you close the window, please?
[d] Would you mind closing the window, please?
Masalah-masalah yang diungkapkan di atas perlu dipelajari secara lebih teliti, dan faktor-faktor yang terlibat di dalamnya perlu diungkap secara menyeluruh. Pengkajian seperti ini sangat penting, di antaranya bagi para pembelajar bahasa asing. Artikel ini melaporkan hasil kajian terhadap kewajaran komunikasi (communication appropriateness) dalam tiga jenis pertuturan, yaitu meminta (requesting), menolak (refusing), dan memohon maaf (apologising), yang ditunjukkan oleh pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Realisasi ketiga tindak tutur ini menarik untuk dikaji karena memungkinkan para peserta tutur untuk kehilangan muka (face-losing) (Brown & Levinson 1987). Isu yang paling dominan dalam merealisasikan sebuah pertuturan adalah masalah kesantunan dan kelayakan berbahasa, dan ini akan dibahas pada bagian kedua. Bagian-bagian selanjutnya akan memaparkan metodologi penelitian, analisis data, dan penafsiran terhadap temuan-temuan dari penelitian ini.
2. Teori tindak tutur dan kesantunan berbahasa
Penelitian tentang realisasi tindak tutur mulai banyak menarik perhatian para peneliti bahasa sejak para filsuf seperti Austin (1962), Searle (1967; 1969), Bach & Harnish (1979), Hancher (1979), dan Allan (1986) menyampaikan pandangannya tentang teori tindak tutur (speech acts). Selain mengungkap hakikat dari sebuah pertuturan, mereka juga membuat klasifikasi pertuturan. Austin (1962), misalnya, berdasarkan klasifikasi leksikal ilokusi verba (lexical classification of illocutionary verbs) membagi klasifikasi tindak tutur menjadi lima jenis, yaitu expositives (memaparkan pandangan), verdictives (memberikan keputusan), commissives (kesiapan melakukan sesuatu), exercitives (menerapkan pengaruh atau kekuasaan), dan behabitives (bereaksi terhadap prilaku orang lain). Sebaliknya, klasifikasi jenis-jenis tindak tutur oleh Searle (1975) lebih didasarkan pada jenis atau hakikat tindakan yang dilakukan oleh seseorang, yang meliputi assertives, directives, commissives, expressives, dan declarations.
Menurut Allan (1986; 1998), empat kelas pertama dari tindak tutur yang diajukan oleh Searle merupakan tindakan antarpribadi (interpersonal acts), yang biasanya ditujukan pada individu-individu, sehingga hanya melibatkan penutur dan (seorang atau lebih) mitra tutur. Sebuah tindak tutur belum akan dikatakan mempunyai efek apabila tidak ada reaksi dari mitra tutur. Dengan demikian, hanya memahami maksud pertuturan penutur tidaklah cukup, sebab yang diperlukan – dan ini nampaknya lebih penting – adalah reaksi (nyata) dari mitra tutur tadi. Sementara itu, menurut Allan, declarations bukan hanya merupakan tindakan antarpribadi, tapi juga merupakan tindak tutur yang biasanya diungkapkan pada situasi tertentu atau bahkan sering ditujukan hanya kepada kelompok sosial tertentu. Tindak tutur ini baru akan dinyatakan memiliki efek apabila penutur memang memiliki kewenangan yang dipersyaratkan, dan mitra tutur dapat menerimanya sebagai sesuatu yang berlegitimasi. Sebagai contoh, ungkapan [e] hanya akan memiliki implikasi hukum (pernikahan) jika diucapkan oleh seorang pendeta di depan kedua mempelai dan (biasanya) disaksikan oleh kerabat dan handai tolan, bukan oleh aktor yang berperan sebagai pendeta dalam sebuah adegan film (lihat Finegan dkk. 1997:162).
[e] I now pronounce you husband and wife
Austin (1962), Bach & Harnish (1979), dan Allan (1986) menyatakan bahwa ada syarat-syarat tertentu, yang mereka sebut dengan felicity conditions, yang harus dipenuhi oleh penutur dan mitra tuturnya agar sebuah pertuturan dapat terealisasi. Syarat-syarat tersebut dapat dianggap sebagai sebuah bentuk ‘kesepakatan’ yang dibangun oleh para peserta tutur sebagai landasan bagi terjadinya sebuah pertuturan. Syarat-syarat itu meliputi syarat persiapan (preparatory condition, P), syarat keikhlasan (sincerity condition, S), dan adanya kejelasan maksud pertuturan (illocutionary intention, I).
Sebagai ilustrasi, tindak tutur meminta (requesting) dapat digolongkan sebagai bagian dari directives yang, menurut Allan (1986:199), dapat didefinisikan sebagai berikut: Meminta adalah pertuturan yang dilakukan oleh seorang penutur S agar mitra tuturnya, H, melakukan sebuah aksi A. Dalam rumusan Allan, hal ini digambarkan sebagai berikut:
[P] S has reason to believe that H can (or might be able to) do A
[S] S wants [deed] D done, perhaps specifically by H
[I] S reflexively-intends [utterance] U to be recognized as a reason for H to agree to do A.
Dari sudut pandang komunikasi antarpersonal, dengan membuat tindak tutur meminta, penutur menempatkan imposisi pada mitra tuturnya, dan dengan demikian ‘beban’ untuk bersantun bahasa ada tertumpu penutur. Hal ini karena ia akan harus menjaga perasaan mitra tutur tadi, jangan-jangan permintaannya telah mengganggu atau bahkan mengancam muka mitra tutur (lihat Brown & Levinson, 1987; Leech 1983). Dengan kata lain, karena penutur berharap keinginannya (permintaannya) dapat dikabulkan oleh mitra tuturnya, maka ia akan berusaha untuk ‘membujuk’ (atau bisa juga ‘memaksa’) mitra tuturnya agar mau melakukan permintaannya itu.
Menurut Brown & Levinson (1987), realisasi pertuturan seperti di atas akan sangat dipengaruhi oleh tiga faktor. Yang pertama adalah jarak sosial (social distance, D). Sebagai bentuk hubungan yang simetris antara penutur dan mitra tuturnya, D menunjukkan tingkat keakraban dan solidaritas di antara mereka. Faktor kedua, kekuasaan relatif (relative power, P), terkait dengan tingkat keleluasaan yang dimiliki oleh penutur untuk menggunakan kekuasaannya terhadap mitra tuturnya agar tuturannya menghasilkan efek yang diharapkan. Tingkat kekuasaan relatif ini memiliki berbagai sumber, di antaranya status formal dalam masyarakat, kekayaan, keturunan, usia, bahkan jenis kelamin, dan dapat berubah-ubah setiap waktu, tergantung pada wilayah kekuasaan tempat terjadinya sebuah pertuturan. Misalnya, ketika seorang dokter melakukan pelanggaran di jalan raya dan berhadapan dengan polisi, maka dokter tersebut bisa dikatakan tak berdaya di hadapan si polisi. Sebaliknya, apabila polisi tadi bertandang ke tempat praktek dokter untuk periksa kesehatan, dia cenderung akan mematuhi segala perintah dari dokter. Faktor ketiga adalah tingkat imposisi dari sebuah pertuturan (absolute ranking of imposition, R). Dalam definisi Brown & Levinson, R ini berkaitan dengan “… the expenditure of goods and/or services by the H, the right of the S to perform the act, and the degree to which the H welcomes the imposition” (1987:74). Sebagai contoh, pertuturan meminta api untuk menyalakan rokok tentu akan mempunyai tingkat imposisi yang sangat berbeda dengan pertuturan meminjam mobil baru milik mitra tutur.
Melalui modelnya itu, Brown & Levinson meyakini bahwa sebuah pertuturan akan sangat dipengaruhi oleh ketiga faktor sosial tadi. Walaupun ada kekhasan dalam setiap realisasi dan tingkatnya, ketiga faktor tadi dapat berlaku universal. Mereka kemudian menghitung ‘beban’ (Wx) dari sebuah face-threatening act (FTA) melalui rumus berikut:
Wx = D(S,H) + P(H,S) + Rx
Rumus di atas mengasumsikan bahwa masing-masing variabel dapat diukur dalam skala 1 sampai dengan n, dan n ini adalah bilangan kecil di antara 1 dan 7 (cf. Miller 1967; Goodenough 1969). Sebuah pertuturan yang di dalamnya melibatkan kesantunan berbahasa (atau upaya menyelamatkan muka), menurut Brown & Levinson, ditentukan oleh nilai Wx.
Dalam bentuk yang berbeda dengan Brown & Levinson, Grice (1975) berpendapat bahwa tingkat kesantunan dalam sebuah pertuturan justru ditentukan oleh kemampuan penutur dan mitra tutur untuk menjalin kerjasama di antara keduanya melalui serangkaian prinsip, yang dia sebut dengan prinsip kerjasama (Cooperative Principles, CP): “Make your conversational contribution such as required, at the stage at which it occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged” (1975:45). Selanjutnya Grice menuangkan prinsip-prinsip tersebut ke dalam empat maksim, yaitu maksim quantity, relevance, manner, dan quality. Grice yakin bahwa ketaatan peserta tutur terhadap maksim-maksim tersebut akan menjamin kelangsungan komunikasi yang santun. Akan tetapi, Grice sendiri mengisyaratkan adanya kemungkinan pelanggaran terhadap satu atau sejumlah maksim, dan hal ini akan dapat diterangkan dengan mengkaji faktor-faktor sosial yang terlibat dalam realisasi pertuturan terkait.
3. Metodologi penelitian
Bagian ini akan membahas metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian kali ini, yang menyangkut pertanyaan penelitian, subyek penelitian, instrumen penelitian, serta prosedur pengumpulan dan analisis data.
3.1 Pertanyaan penelitian
Seperti diterangkan pada bagian pendahuluan, penelitian ini mengkaji realisasi pertuturan meminta (requesting), menolak (refusing), dan memohon maaf (apologizing) oleh pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Selanjutnya, unsur-unsur yang diteliti diformulasikan dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian berikut ini.
(1) Seperti apa pola meminta, menolak, dan memohon maaf yang lazim dipakai oleh responden?
(2) Sejauh mana variabel sosial seperti jenis kelamin, usia, jarak sosial (keakraban), kekuasaan relatif, dan tingkat imposisi sebuah permintaan mempengaruhi realisasi tindak tutur meminta, menolak, dan memohon maaf?
(3) Apa kaitan antara pola-pola meminta, menolak, dan memohon maaf dengan konsep santun bahasa (linguistic politeness)?
(4) Seberapa wajar pertuturan para responden menurut pandangan penutur asli bahasa Inggris?
3.2 Subyek
Penelitian ini melibatkan 36 orang mahasiswa tingkat terakhir Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Indonesia. Responden dipilih secara bertujuan (purposive sampling), sehingga hanya yang berada pada kategori tingkat lanjutlah yang diikutsertakan. Ini sekaligus untuk melihat tingkat profisiensi responden yang berada pada kategori lanjut tersebut.
Dari segi jenis kelamin, responden perempuan (31 orang) jauh lebih banyak dibanding responden laki-laki (5 orang). Meskipun tampak seperti tidak seimbang, kondisi sampel seperti ini diyakini merupakan representasi dari mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris FPBS Universitas Pendidikan Indonesia, karena komposisi populasi mahasiswa laki-laki dan perempuan pada jurusan tersebut berkisar sekitar 1:5.
3.3 Instrumen
Data untuk penelitian ini diambil dengan menggunakan angket yang dikenal dengan nama DCT (discourse completion test). Angket ini berisi sejumlah gambaran situasi pertuturan antara seorang penutur dengan seorang mitra tutur. Dalam setiap situasi, dijelaskan faktor-faktor sosial yang dibawa oleh masing-masing peserta tutur berikut jenis imposisinya. Deskripsi situasi ini kemudian diikuti oleh bagian kosong yang harus diisi oleh setiap responden. Bentuk jawaban yang diminta adalah jenis pertuturan yang besar kemungkinan akan diucapkan oleh setiap penutur kalau mereka berada pada situasi yang sebenarnya. Berikut ini sebuah contoh (terjemahan dari versi Inggris):
Situasi #1: Seorang teman meminta Anda untuk mengembalikan buku ke perpustakaan karena dia tidak dapat pergi ke kampus. Sayangnya, Anda baru akan sampai di kampus setelah perpustakaan tutup. Dalam situasi seperti ini, apa yang akan Anda katakan kepadanya?
Anda : _______________________________________________________
_______________________________________________________
Ada 12 situasi dalam angket tersebut, yang memuat jenis realisasi pertuturan yang berbeda, yaitu pertuturan meminta (requesting), permohonan maaf (apologising), dan menolak (refusing). Jumlah pertanyaan dalam angket untuk masing-masing jenis pertuturan adalah sebagai berikut: empat situasi untuk pertuturan menolak (situasi #1, #4, #7, dan #10), lima situasi untuk pertuturan meminta (situasi #3, #5, #6, #9, dan #12), dan tiga situasi untuk pertuturan memohon maaf (situasi #2, #8, dan #11). Semua situasi yang diberikan dalam angket terkait dengan lingkungan yang dekat dengan kehidupan para responden sebagai mahasiswa, seperti lingkungan kampus dan rumah kontrakan.
3.4 Pengisian angket
Angket disebar kepada para responden, yakni mahasiswa Jurusan pendidikan Bahasa Inggris FPBS UPI yang duduk di tingkat akhir dengan kategori profisiensi ‘lanjut’ (advanced). Kepada mereka terlebih dulu diberikan penjelasan tentang cara-cara pengisian angket. Sesudah mereka memahami langkah-langkah yang harus dikerjakan, mereka kemudian mengisinya.
3.5 Penakaran oleh penutur asli
Setelah jawaban responden dianalisis oleh peneliti, data tersebut diserahkan kepada penutur asli bahasa Inggris, yang kemudian menakar tingkat kewajaran dari setiap realisasi pertuturan tersebut. Selanjutnya, peneliti melakukan analisis terhadap hasil penakaran yang dilakukan oleh penutur asli Bahasa Inggris tersebut.
4. Analisis dan pembahasan
Bagian ini akan memaparkan temuan dari penelitian ini, dilanjutkan dengan pembahasan terhadap temuan tersebut.
4.1 Realisasi Pertuturan
4.1.1 Pertuturan Menolak
Ada empat buah situasi yang menstimulasi responden untuk mengeluarkan pertuturan menolak. Keempat situasi itu adalah situasi #1 (menolak untuk mengantarkan buku ke perpustakaan), situasi #4 (menolak untuk meminjamkan pulpen), situasi #7 (menolak untuk membantu mengerjakan PR), dan situasi #10 (menolak untuk menjemput kawan ke stasiun). Data yang diperoleh menunjukkan bahwa pertuturan menolak yang dibuat oleh para responden umumnya direalisasikan dengan mendahulukan apologiser seperti I’m sorry, baik diikuti intensifier (seperti very, really, atau yang sejenisnya) atau tidak, baru kemudian diikuti oleh head act, yaitu isi penolakannya. Selain itu, pertuturan menolak pada umumnya diikuti dengan alasan penolakan.
Cara memberikan respon penolakan seperti ini mempunyai beberapa implikasi. Bagi mitra tutur, ungkapan ketakbisaan penutur untuk melakukan sesuatu yang dinyatakan secara langsung akan mengesankan adanya kepastian bahwa tak ada lagi harapan untuk meminta tolong kepada penutur, sehingga dia akan harus segera memikirkan alternatif lain, agar keinginannya terpenuhi. Bagaimanpun, strategi langsung seperti ini mungkin dapat menimbulkan konotasi negatif dalam benak mitra tutur, yang mungkin saja beranggapan bahwa penutur kurang santun. Kesan ‘negatif’ seperti ini dapat timbul terutama pada pertuturan yang tidak menyertakan ungkapan pelembut (mitigator) atau kalau penutur tak memberi alasan yang rasional. Dari contoh-contoh ungkapan yang diberikan oleh para responden, terlihat bahwa mereka tidak melakukan penolakan karena dipaksa oleh situasi, dan ini ditunjukkan misalnya dalam alasan-alasan yang mereka berikan sesudah memberi pertuturan menolak.
4.1.2 Pertuturan Meminta
Ada lima situasi yang menstimulasi munculnya tindak tutur meminta. Kelima situasi itu adalah situasi #3 (meminta teman untuk menyampaikan pesan kepada dosen), situasi #5 (meminta teman untuk membersihkan dapur), situasi #6 (meminta perpanjangan waktu penyerahan tugas kepada dosen), situasi #9 (di tukang foto kopi, meminta dilayani terlebih dulu), dan situasi #12 (meminta dosen untuk menjadi pembimbing skripsi).
Segmentasi terhadap jawaban responden menunjukkan bahwa ada responden yang menempatkan supportive moves pertuturan meminta di awal ungkapan (pre-posed), seperti Actually I have an appointment with Mr X, but … pada contoh ungkapan [f], yang kemudian diikuti oleh head act pertuturan meminta. Ujaran [f] dan [g] mengilustrasikan penempatan head act dalam pertuturan meminta (digarisbawahi). Sementara itu, dari jawaban para responden diketahui pula bahwa mereka kebanyakan berupaya menghindari pemakaian multiple head.
[f] Actually I have an appointment with Mr X, but …. Would you like to tell him…?
[g] I’m running out of time to submit my assignment, so would you please replace ….?
Dari contoh-contoh di atas, kita dapat melihat bahwa pola meminta yang didahului supportive moves ini secara ‘normatif’ memberikan keleluasaan kepada mitra tutur untuk berpikir sejenak tentang maksud si penutur, yaitu mengapa penutur menginginkannya untuk melakukan sesuatu. Pola seperti ini akan dipandang lebih sopan ketimbang pola yang lebih langsung, yang menempatkan head act sebelum supportive moves. Selanjutnya, para responden cenderung mencuri perhatian para mitra tuturnya itu dengan menggunakan attention getter seperti Excuse me, Hello dan Hi.
Dari segi orientasi permintaan, strategi yang paling banyak digunakan adalah menempatkan permintaan dalam perspektif mitra tutur (hearer dominance), yang ditunjukkan oleh sering munculnya kata ganti orang kedua you. Sementara itu, strategi yang melibatkan penutur dan mitra tuturnya (speaker and hearer dominance) tidak banyak dipakai. Banyak digunakannya kata ganti you memberikan gambaran bahwa para penutur berupaya untuk menempatkan mitra tuturnya pada posisi yang menentukan dalam merespon sebuah permintaan. Mungkin penutur ingin memperoleh kepastian bahwa apa yang dia mintakan benar-benar mendapat perhatian dari mitra tuturnya. Selain itu, penutur juga menempatkan mitra tuturnya dalam posisi penting, yakni sebagai pengambil keputusan. Penggunaan kata ganti orang pertama I dalam konteks ini mungkin akan ditafsirkan sebagai kelancangan dan terasa seperti mendikte.
Ketika menyampaikan permintaan, para responden cenderung menggunakan ungkapan preparatory, yang sering digabung dengan kalimat-kalimat interrogative, sebagai pola penghalusan pertuturan. Hal ini ditunjukkan dengan ekstensifnya pemakaian preparatory seperti I’d like to ask your help atau If you don’t mind. Kesan ingin bersifat halus ini diperkuat dengan penggunaan kata atau ungkapan pelembut berupa understater yang dikombinasikan dengan grounder dari kelompok mitigating supportive moves (lihat Blum-Kulka 1989). Sementara itu, untuk membuat penegasan tentang kapan sebuah permintaan harus terwujud (upgraders), para responden lebih banyak menggunakan time intensifier ketimbang bentuk ungkapan lainnya.
Sebagai salah satu alat untuk menyampaikan permintaan, modal ‘could’ dan ‘can’ adalah bentuk yang paling banyak dipakai dibandingkan dengan modal-modal lainnya, bahkan dengan bentuk may sekalipun. Sementara itu, penggunaan modal ‘will’ sangat terbatas. Penggunaan can sebagai cara untuk meminta orang lain melakukan sesuatu untuk penutur jika dipandang dari sudut kesantunan berbahasa tidak lebih sopan daripada may atau would atau could, misalnya. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa ada responden yang belum secara ‘benar’ memahami konsep modal auxiliaries seperti ini, yang tentu saja hal ini menunjukkan masih kurangnya pengetahuan mereka tentang the pragmatics of language use, sekalipun mungkin saja secara sintaksis (grammatical competence) pola seperti itu sama sekali tidak bermasalah. Dengan kata lain, kompetensi pragmatik (pragmatic competence) para responden penelitian ini masih lebih rendah dibandingkan dengan kompetensi kebahasaan (grammatical/linguistic competence) mereka.
4.1.3 Memohon Maaf
Dalam penelitian ini, pertuturan memohon maaf diakomodasi dalam tiga situasi, yaitu situasi #2 (memohon maaf karena datang kuliah terlambat), situasi #8 (memohon maaf karena menginjak kaki orang lain), dan situasi #11 (memohon maaf karena datang terlambat untuk acara wisata). Situasi dalam angket mengindikasikan adanya kelalaian dari penutur, yang dapat membuat muka mitra tuturnya terancam. Oleh karena itu, penutur dituntut untuk menyampaikan permohonan maaf kepada mitra tutur.
Data yang diperoleh mengisyaratkan adanya indikasi kuat bahwa para responden, dalam menyampaikan permohonan maaf, sangat peduli dengan (i) hubungan sosial yang dalam hal ini berupa tingkat keakraban dirinya dengan mitra tuturnya, dan (ii) tingkat keseriusan dari kelalaian yang dibuatnya terhadap mitra tuturnya (tingkat imposisi).
Pola realisasi permohonan maaf para responden menunjukkan bahwa ungkapan penyesalan (I’m sorry) selalu mengawali pertuturan, yang umumnya akan diikuti oleh pengakuan akan kelalaiannya itu. Meskipun bentuknya relatif sama, ungkapan penyesalan dalam pertuturan meminta maaf memiliki fungsi yang berbeda dengan ungkapan penyesalan dalam pertuturan menolak. Pada pertuturan menolak, pernyataan I’m sorry dan sejenisnya lebih ditujukan untuk menyampaikan penyesalan penutur akan ketakbisaannya melakukan sesuatu yang dituntut oleh mitra tuturnya. Sementara itu, dalam pertuturan permohonan maaf, pernyataan I’m sorry justru ditujukan untuk menyatakan pengakuan akan kelalaian.
4.2 Kaitan variabel sosial dengan dengan realisasi pertuturan
Varibel sosial yang diperhatikan adalah latar belakang bahasa dan budaya, usia, jenis kelamin, jarak sosial, dan status relatif. Latar belakang bahasa dan budaya responden dapat dikatakan relatif homogen karena mereka adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris UPI dan mereka juga berasal dari etnik Sunda, meskipun harus diakui bahwa ada keragaman internal dalam masyarakat Sunda itu sendiri. Selanjutnya, usia responden juga relatif homogen, berkisar sekitar 22 tahun. Dari segi jenis kelamin, responden didominasi oleh perempuan, karena mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris FPBS UPI memang kebanyakan perempuan. Data menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara realisasi pertuturan oleh laki-laki dan perempuan.
Selanjutnya, jarak sosial di antara para peserta tutur tampak mempengaruhi pola tutur responden. Pola tuturan yang lebih langsung (direct) cenderung lebih banyak muncul ketika para peserta tutur dekat satu sama lainnya. Terakhir, meskipun tidak sekuat jarak sosial, status relatif juga mempengaruhi pola tutur responden: tuturan yang lebih langsung cenderung lebih banyak muncul ketika status sosial para peserta tutur relatif setara.
4.3 Penakaran oleh penutur asli
Setelah dikelompokkan menurut jenis pertuturannya, semua jawaban yang diberikan oleh para responden diserahkan kepada penutur asli bahasa Inggris untuk ditakar tingkat kewajarannya. Pada awalnya, penelitian ini akan melibatkan beberapa penutur asli bahasa Inggris sebagai penakar, tetapi karena berbagai alasan yang tidak dapat dihindarkan, sampai batas akhir waktu yang diberikan hanya ada satu orang penutur asli yang terlibat. Yang bersangkutan adalah penutur asli bahasa Inggris dialek Australia.
Hasil penakaran menunjukkan bahwa secara umum jawaban-jawaban yang diberikan oleh para responden bersifat wajar, walaupun ada beberapa di antaranya yang kedengaran aneh bagi penutur asli bahasa Inggris. Berikut adalah beberapa hal yang dapat disarikan dari hasil penakaran di atas:
(a) Pola pertuturan menolak yang paling dapat diterima oleh penutur asli adalah yang mendahulukan penyesalan seperti sorry dan diikuti oleh penjelasan ‘ala kadarnya’ tentang ketakbisaan mengabulkan permohonan dari mitra tutur. Pengungkapan alasan yang berlebihan dalam konteks seperti ini justru dapat dianggap kurang wajar dan kurang santun. Penutur akan dinilai lebih sopan lagi apabila dengan rela memberikan jalan keluar yang wajar untuk kepentingan mitra tuturnya.
(b) Ungkapan permohonan maaf nampaknya cukup dinyatakan dengan mengakui kelalaian yang dilakukan. Penambahan alasan yang dibuat-buat atau berlebihan bahkan dinilai dapat mengeruhkan suasana. Kalau dinilai perlu, penutur dapat mengungkapkan kesediaan untuk memperbaiki kelalaian yang dia lakukan.
(c) Ungkapan permintaan sebaiknya direalisasikan dalam bentuk pengakuan akan kemungkinan terganggunya mitra tutur sehingga perlu didahului oleh permintaan maaf atas gangguan tersebut. Setelah itu, penutur dapat menyampaikan keperluannya kepada mitra tutur. Tampaknya ini berkaitan dengan konsep privacy, sebuah aspek penting dalam pola hubungan sosial penutur asli bahasa Inggris. Dalam hal ini, tindakan meminta orang lain untuk melakukan sesuatu dapat diartikan sebagai ‘pelanggaran’ terhadap privacy orang tersebut, sehingga penutur perlu meminta izin terlebih dahulu.
5. Kesimpulan dan saran
5.1 Kesimpulan
Dari analisis data dan pembahasan terhadap temuan dalam penelitian ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, ada pola-pola tertentu yang dipakai oleh para responden dalam merealisasikan pertuturan meminta, menolak, dan memohon maaf. Ketiga jenis pertuturan itu umumnya diawali oleh ungkapan penyesalan berupa sorry dan yang sejenisnya, yang kemudian diikuti oleh ungkapan yang berisi head-act dari masing-masing jenis pertuturan. Sering juga muncul penjelasan terhadap sebuah maksud pertuturan untuk meyakinkan bahwa mitra tuturnya memahami maksud pertuturannya (illocutionary point).
Kedua, variabel sosial yang paling mempengaruhi strategi untuk merealisasikan sebuah pertuturan adalah hubungan keakraban antara penutur dengan mitra tuturnya, diikuti oleh kekuasaan relatif penutur terhadap mitra tuturnya. Sementara itu, tingkat imposisi sebuah pertuturan merupakan variabel berikutnya dalam urutan variabel-variabel yang mempengaruhi realisasi pertuturan.
Terakhir, dilihat dari kerangka teori kesantunan berbahasa, realisasi pertuturan yang ditunjukkan oleh para responden secara umum telah memenuhi kriteria kesantunan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada umumnya para responden telah ‘memahami’ budaya dari bahasa yang sedang dipelajarinya.
5.2 Saran-saran
Ada beberapa saran yang dapat disampaikan, baik dalam kaitannya dengan penelitian lanjutan yang sejenis maupun dengan praktek pengajaran bahasa yang terkait dengan temuan-temuan dari penelitian ini.
Dalam kaitannya dengan penelitian lanjutan, disarankan agar angket memuat lebih banyak situasi, sehingga kompetensi komunikasi para responden akan lebih terlihat lebih komprehensif. Juga disarankan agar penelitian berikutnya mempertimbangkan penggunaan metode lain, seperti bermain peran dan observasi langsung. Dengan demikian, akan diperoleh data yang lebih alamiah. Selanjutnya, penelitian lanjutan disarankan untuk melibatkan responden dari berbagai kelompok mahasiswa (tingkat), sehingga akan diperoleh data yang lebih komprehensif. Bahkan penelitian lanjutan dapat melibatkan responden dari berbagai latar belakang bahasa/etnik. Terakhir, penelitian berikutnya sebaiknya melibatkan lebih dari seorang penakar kewajaran (penutur asli bahasa Inggris), sehingga unsur subjektivitas si penakar dapat diminimalkan.
Dalam kaitannya dengan pengajaran bahasa, disarankan agar para pengajar bahasa tidak terlalu berfokus pada kompetensi gramatis (grammatical accuracy), tetapi harus juga (atau mungkin lebih) memperhatikan aspek kewajaran berbahasa (communication appropriateness), walaupun tidak berarti bahwa kedua unsur ini dapat dipisahkan satu dari lainnya. Fokus yang berlebihan terhadap aspek gramatika mungkin hanya akan menghasilkan pembelajar yang mahir membuat kalimat yang canggih secara tatabahasa tapi janggal secara sosial. Untuk itu, para pengajar bahasa (khususnya komunikasi lisan) perlu memiliki pengetahuan yang memadai tentang budaya target.
DAFTAR RUJUKAN
Allan, K. 1986. Linguistic meaning. 2 vol. London: Routledge & Kegan Paul.
Allan, K. 1998. Meaning and speech acts. http://www.arts.monash.edu.au/ling/speech_acts_allan_html
Austin, J.L. 1975. How to do things with words. 2nd edn., edited by J.O. Urmson & Marina Sbisa. Oxford: Oxford University.
Aziz, E.A. 2000. Refusing in Indonesian: strategies and politeness implications. Tesis Ph.D, Department of Linguistics, Monash University.
Bach, K. & R.M. Harnish. 1979. Linguistic communication and speech acts. Cambridge: Cambridge University Press.
Beebe, L.M. & M.C. Cummings. 1985. Speech act performance: a function of the data collection method. Paper presented at the TESOL Cnvention, New York.
Blum-Kulka, S.; J. House; G. Kasper (eds). 1989. Cross-cultural pragmatics: request and apologies. Norwood, NJ: Ablex.
Brown, P. & S.C. Levinson. 1987. Politeness: some universals in language usage. Cambridge: Cambridge University Press.
Cicourel, A. 1988. “Elicitation as a problem of discourse”. Dalam U. Ammon, N. Dittmar & K.J. Mattheier (editor) Sociolinguistics: an international handbook of the science of language and society. Berlin: Walter de Gruyter.
Finegan, Edward, D.Blair, & P. Collins. 1997. Language: its structure and use. Australian 2nd ed. Sydney: Harcourt.
Goodenough, W. 1969. “Rethinking ‘status’ and ‘role’: towards a general model of the cultural organization of social relationships”. Dalam S.A. Taylor (editor) Cognitive anthropology. NY: Holt, Rinehart, and Winston.
Grice, P.H. 1975. “Logic and conversation”. Dalam P. Cole & J.L. Morgan (editor) Syntax and semantics 3: speech acts. NY: Academic Press.
Hancher, M. 1979. “The classification of cooperative illocutionary acts”. Dalam Language and society, 8, 1-14.
Judd, C.M.; E.R. Smith; L.H. Kidder. 1991. Research methods in social relations. 6th edition. Orlando, Florida: HBJ.
Labov, W. 1972. Sociolinguistic patterns. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Miller, R.A. 1967. The Japanese language. Chicago: Chicago University Press.
Searle, J.R. 1969. Speech acts. London: Cambridge University Press.
White, Ron. 1993. “Saying please: pragmalinguistic failure in English interaction’. Dalam ELT Journal, 47/3, 193-202.
[1] ) Artikel ini terbit pada Bahasa dan Seni vol 3, no.4, 2003.