Oleh : E. Aminudin Aziz
Abstrak
Secara faktual, masyarakatIndonesiasebenarnya adalah masyarakat yang sudah sejak lama menganut sistem dwi- bahkan multibahasa. Di samping fasih menggunakan bahasa ibu/pertama, kebanyakan anggota masyarakat diIndonesiajuga piawai menggunakan bahasa Indonesia atau bahkan bahasa asing seperti Inggris, Arab, Belanda, dan sebagainya. Akan tetapi, justru baru akhir-akhir ini ramai dibicarakan tentang pelaksanaan pendidikan kedwibahasaan tersebut, terutama seiring dengan maraknya program pengajaran bahasa asing (baca: Inggris) di pendidikan tingkat rendah, baik pra-sekolah maupun sekolah dasar. Fokus pembicaraan biasanya melingkar di seputar kekhawatiran orang tua (bahkan juga para guru) bahwa pelaksanaan pendidikan bahasa asing pada tingkat rendah tersebut akan mengganggu proses perkembangan kebahasaan, terutama bahasa ibu, para siswa yang memang belum stabil. Akibatnya, perkembangan intelektual para siswa pun dikhawatirkan menjadi tidak optimal. Kekhawatiran tersebut sangat wajar mengingat data tentang pelaksanaan pengajaran bahasa asing/Inggris di sekolah-sekolah menengah kita sampai saat ini masih menunjukkan kepada sisi-sisi ketekberhasilan proses belajar-mengajar yang terjadi selama ini. Makalah ini menyajikan pemikiran tentang manfaat pendidikan kedwibahasaan yang diberikan sejak dini kepada para siswa. Lebih dari itu, pada makalah ini akan dibeberkan sejumlah prinsip dari model pendekatan pragmatik yang dapat diterapkan guru bahasa asing di sekolah dalam melaksanakan program pendidikan kedwibahasaan untuk mengembangkan kompetensi berbahasa siswa-siswanya. Prinsip-prinsip itu dikembangkan dalam kerangka berfikir bahwa fungsi utama bahasa adalah untuk menyampaikan maksud dalam konteks-konteks tertentu.
1.0. Pendahuluan
Ramainya pembicaraan di dalam masyarakat kita tentang pendidikan dan pengajaran kedwibahasaan (bilingual education) akhir-akhir ini nampaknya dipicu oleh maraknya praktek pengajaran bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, di sekolah-sekolah tingkat rendah, baik pra-sekolah maupun sekolah dasar. Hal ini, bagaimanapun, dapat dipandang sebagai salah satu bentuk “reaksi” masyarakat terhadap dilegalkannya pengajaran bahasa Inggris di tingkat rendah oleh pemerintah (UU no 2 tahun 2002 tentang Sisdiknas). Padahal, di lain pihak, sampai sejauh ini kita belum pernah disodori data yang menggembirakan tentang keberhasilan pengajaran bahasa Inggris di sekolah-sekolah menengah kita. Alih-alih berita baik, kita senantiasa membaca bahwa sejauh ini, pelaksanaan pengajaran bahasa Inggris dikategorikan gagal dalam menjadikan para siswa mahir berbahasa Inggris, sekalipun mereka telah belajar selama enam tahun sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama hingga lulus sekolah menengah atas.
Sejumlah penyebab, kemudian, dikemukakan untuk menjelaskan kegagalan itu, mulai dari status bahasa Inggris di dalam masyarakat, minat dan motivasi siswa yang rendah, keterbatasan sumber, media, dan fasilitas belajar, rendahnya kompetensi guru, model mengajar yang tidak tepat, dan sejumlah alasan lainnya. Lalu, masyarakat menjadi khawatir jangan-jangan praktek pengajaran kedwibahasaan yang kini mulai digulirkan di sekolah tingkat rendah itu justru akan menambah beban belajar para siswa, atau bahkan akhirnya menghambat perkembangan intelektualnya.
Makalah ini akan mengupas sejumlah pemikiran tentang manfaat pendidikan kedwibahasaan yang diberikan sejak dini kepada para siswa. Lebih dari itu, pada makalah ini akan disajikan sejumlah prinsip dari model pendekatan pragmatik yang dapat diterapkan baik oleh para orang tua di rumah ataupun guru bahasa asing di sekolah dalam melaksanakan program pendidikan kedwibahasaan bagi anak-anaknya. Prinsip-prinsip itu dikembangkan dalam kerangka berfikir bahwa fungsi utama bahasa adalah untuk menyampaikan maksud dalam konteks-konteks tertentu.
2.0. Pendidikan Kedwibahasaan dan Kompetensi Berbahasa
Secara sederhana, kemampuan/kompetensi berbahasa seseorang dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yakni kemampuan reseptif (menerima), dan yang kedua kemampuan produktif. Ke dalam kelompok yang pertama, kita bisa memasukkan keterampilan menyimak (listening) dan membaca (reading), dan ke dalam kelompok yang kedua keterampilan berbicara (berbicara) dan menulis (writing). Pada proses perkembangannya, kedua jenis kompetensi itu saling mempengaruhi satu sama lain –yang kemungkinan besarnya adalah saling menguatkan– sekalipun tidak dapat dikatakan bahwa seseorang akan mesti memiliki kemampuan yang sama dalam setiap ranahnya. Artinya, sebagai contoh, sangat mungkin seseorang memiliki keterampilan berbicara sangat baik, tetapi keterampilan menulisnya relatif rendah, demikian pula sebaliknya.
Chomsky, pada tahun 1965, mencetuskan sebuah gagasan berkaitan dengan kemampuan berbahasa seseorang, yang ia bedakan menjadi dua jenis, yaitu kompetensi (competence) dan performansi (performance). Yang pertama menunjuk pada seperangkat pengetahuan yang dimiliki seorang penutur tentang bahasanya, sedangkan yang kedua berkait dengan apa yang dilakukan seorang penutur dengan bahasanya tersebut. Menurut Chomsky, tugas para ahli bahasa, termasuk di dalamnya para guru, adalah mengupas tuntas segala hal yang berkaitan dengan yang pertama, yakni kompetensi, dan bukannya membirakan masalah performansi seseorang. Bagaimanapun, menurut Chomsky, yang kedua (performance) pada hakikatnya merupakan cerminan dari yang pertama tadi (competence). Chomsky berpendapat bahwa
Linguistic theory is concerned primarily with an ideal speaker-listener, in a completely homogenous speech community, who knows its language perfectly and is unaffected by such irrelevant conditions as memory limitations, distractions, shifts of attention and interest, and errors (random or characteristic) in applying his knowledge of the language in actual performance. This seems to me to have been the position of the founders of modern general linguistics, and no cogent reason for modifying it has been offered. To study actual linguistic performance, we must consider the interaction of a variety of factors, of which the underlying competence of the speaker-speaker is only one. In this respect, study of language is no different from empirical investigation of other complex phenomena (1965: 3-4) (cetak tebal dari pengutip).
Kompetensi bahasa seperti disinyalir oleh Chomsky di atas adalah kompetensi komunikasi (coomunicative competence) (Hymes 1972) yang dimiliki oleh seorang penutur bahasa. Berapa ahli lain (Gumperz 1972; Faerch & Kasper 1984; Canale & Swain 1980; Clyne 1983; Saville-Troike 1996) telah mengajukan pandangannya. Hymes (1972) memandang pendapat yang dikemukakan oleh Chomsky di atas sebagai pendapat yang ‘gersang’, karena ia tidak mempertimbangkan masalah-masalah sosial yang mungkin terlibat dalam kegiatan berbahasa, sebab memang kata Chomsky masyarakat tuturan itu harus ‘completely homogenous’. Padahal, seperti dikemukakan oleh Spolsky (1989), seluruh kegiatan belajar bahasa terjadi dalam konteks sosial; rumah, masyarakat, sekolah, keluarga inti dan keluarga besar, sejawat, guru, dan sebagainya. Untuk itu, dalam upaya menjelaskan istilah kompetensi komunikatif, Hymes menggunakan mnemonic SPEAKING yang di dalamnya sarat dengan muatan sosial. (Setting and Scene, Participants, Ends, Acts, Key, Instrumentalities, Norms, Genre).
Sementara itu, Gumperz (1972) memandang kompetensi komunikastif sebagai sebuah kondisi akumulatif dari kemampuan berbahasa seseorang, yang bukan hanya merefleksikan pengetahuan tentang menganalisis kasus-kasus bahasa, tapi juga mencakup pengetahuan tentang pemakaian kaidah-kaidah bahasa tersebut. Dia mengatakan bahwa “whereas linguistic competence covers the speaker’s ability to produce grammatically correct sentences, communicative competence describes his ability to select, from the totality of grammatically correct expressions available to him, forms which appropriately reflect the social norms governing behavior in specific encounters””(1972: 205).
Sedikit berbeda dengan yang dikemukakan oleh Hymes dan Gumperz di atas, Clyne (1983) melihat kompetensi komunikasi itu sebagai sebuah kondisi yang tersusun dari dua aturan yang saling terkait: 1) aturan umum (general rules), yang mengacu pada aneka aspek budaya beserta institusi pendukungnya, dan 2) aturan khusus (specific rules) yang berkait dengan formula-formula khas dalam merealisasikan pertuturan. Sementara itu, Faerch & Kasper (1984) memandang kompetensi komunikatif sebagai sebuah pengetahuan pragmatik (pragmatic knowledge). Ada enam unsur yang menyusun pengetahuan ini, yakni a) pengetahuan kebahasaan (linguistic knowledge), b) pengetahuan tentang cara bertutur (speech act knowledge), c) pengetahuan wacana (discourse knowledge), d) pengetahuan tentang faktor-faktor sosio-kultural yang berkait dengan pertuturan (sociocultural knowledge), e) pengetahuan tentang konteks pertuturan (context knowledge), dan f) pengetahuan tentang dunia pada umumnya (knowledge of the world) (bandingkan dengan pendapat Canale & Swain 1980 yang berisi: grammatical competence, sociolinguistic competence, discourse competence, dan strategic competence dan juga Bachman (1990) yang merumuskan kompetensi bahasa menjadi organisational competence (grammatical and textual) dan pragmatic competence (illocutionary competence and sociolinguistic competence)).
Pengembangan kompetensi komunikatif seperti dinyatakan di atas dapat berlangsung pada dua suasana yang mungkin relatif berbeda, yaitu pertama pada saat yang bersangkutan secara sadar mempelajari dan memperhatikan sebuah sistem bahasa, kemudian mempraktekkannya. Biasanya, kegiatan seperti ini berlangsung di dalam kelas, yang oleh Krashen (1985) disebut sebagai kegiatan belajar (learning). Sementara itu situasi kedua yang mendorong terjadinya proses pengembangan kompetensi berbahasa adalah lingkungan tempat seseorang berinteraksi dengan orang lain. Ketika berinteraksi satu sama lain, seseorang sangat mungkin dihadapkan pada hal-hal baru (yakni i +1, dalam istilah Krashen) yang disadari atau tidak, ternyata telah memfasilitasinya untuk terjadinya proses pembelajaran. Krashen menamai proses pembelajaran seperti ini dengan istilah pemerolehan (acquisition).
Praktek pendidikan kedwibahasaan sesungguhnya merupakan upaya untuk mengoptimalkan seluruh kemampuan/kompetensi berbahasa, apapun rumusan yang telah dikemukakan oleh para ahli tadi tentang kompetensi berbahasa itu. Dengan demikian, ia tidak perlu dipandang sebagai tindakan yang justru akan menghambat kreativitas para siswa dalam berekspresi, bahkan sebaliknya penguasaan bahasa kedua akan menjadi aset yang penting dalam mengembangkan intelejensi (Peal&Lambert 1962). Selain itu, keberhasilan praktek pendidikan kedwibahasaan akan mampu membuka cakrawala berfikir para pembelajar tentang dunia luar.
Namun demikian, praktek pendidikan kediwibahasaan hendaknya memperhatikan alasan pembelajar sehingga mereka mau mengikuti program pendidikan tersebut. Hal ini sejalan dengan temuan dari sejumlah riset yang menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan praktek pendidikan kedwibahasaan akan sangat ditentukan oleh alasan pembelajar mengikuti program tersebut. Baker (1993: 209) menunjuk tiga alasan dasar, yang meliputi alasan ideologis (yakni demi kepentingan asimilasi, pemertahanan, dan harmonisasi sosial), alasan internasionalisasi (yakni demi perdagangan, wisata internasional, dan untuk memperoleh pengetahuan), dan alasan pribadi (yakni untuk meningkatkan kesadaran budaya, latihan kognitif, menguatkan ikatan afektif dan sosial, dan demi karir/pekerjaan).
3.0. Dimensi Belajar Bahasa Asing dalam Kelas: Pendekatan Pragmatik
Praktek belajar-mengajar bahasa, baik bahasa pertama maupun kedua/asing, sangat ditentukan oleh berbagai faktor, baik siswa, guru, lingkungan sekolah, dan sistem persekolahan yang diadopsi oleh penyelenggara pendidikan. Baker (1993: 213-215) misalnya mencatat adanya sepuluh dimensi yang umum ditemukan dalam belajar bahasa kedua. Dimensi itu meliputi persepsi guru tentang teori kebahasaan dan fungsinya, persepsi guru tentang teori belajar bahasa, tujuan belajar bahasa, silabus pembelajaran, aktivitas kelas, peraan guru, peran siswa, materi dan fasilitas belajar, bentuk evaluasi, dan konteks pembelajaran bahasa kedua.
Pragmatik melihat proses belajar-mengajar bahasa sebagai upaya untuk menuntun siswa mahir dalam menggunakan bahasa yang dipelajarinya sesuai dengan tuntutan konteks yang sedang dihadapinya. Dengan landasan berpikir seperti itu, maka pengajaran bahasa yang mengadopsi pendekatan pragmatik akan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Bahasa dipandang sebagai sebuah sistem makna yang dipakai untuk berkomunikasi, menyampaikan gagasan, berinteraksi sosial, dan menjalin hubungan antar individu. Dalam kaitan ini, melihat lalu memahami bahasa sebagai sebuah sistem makna akan menjadi jauh lebih penting daripada melihat bahasa sebagai sebuah struktur dan bentuk-bentuk yang terdiri dari sistem bunyi dan kosakata. Berkomunikasi dan menggunakan bahasa artinya menyampaikan makna, sehingga terjadilah interaksi sosial di antara para pemakai bahasa. Dengan demikian, kesalahan dalam bentuk kebahasaan tidak perlu dipandang sebagai kurang bermaknanya tuturan yang disampaikan oleh seorang penutur (lihat butir 3 di bawah). Sehingga, pemaknaan terhadap tuturan akan ditinjau dari totalitasnya, bukan dari satuan-satuan struktur yang menyusunnya. Misalnya She have three sister and two brother menyampaikan makna yang utuh, yakni melaporkan bahwa seseorang memiliki tiga orang saudara perempuan dan dua orang saudara laki-laki. Bahwa di dalam tuturan itu ada bentuk-bentuk yang belum sempurna, yakni have, sister, dan brother yang semestinya berturut-turut has, sisters, dan brothers, hal itu seyogyanya dipandang sebagai bentuk-bentuk bahasa antara (interlanguage) (Selinker 1972).
- Pemakaian bahasa akan sangat tergantung pada konteks terjadinya pertuturan, sesuai dengan ruang dan waktu. Peran pemakai bahasa secara terus-menerus berubah menurut ruang dan waktu, demikian pula bahasa yang akan digunakannya. Dengan demikian, bentuk bahasa akan terus menerus berubah dan sensitif terhadap konteks terjadinya pertuturan. Selain itu, sebuah maksud pertuturan akan sangat mungkin dikemukakan melalui ragam tuturan yang berbeda. Tidak ada bentuk bahasa yang perlu dipandang baku apalagi kaku dan bisa digunakan dalam semua kesempatan. Sehingga, kita akan temukan ungkapan-ungkapan Hi, Hello, Good morning/afternoon, How do you do dan sebagainya. Padahal kita ketahui secara pasti bahwa bentuk-bentuk seperti itu sesungguhnya menyampaikan maksud tuturan yang sama, yaitu menyatakan salam (greetings). Demikian pula bentuk aktif dan pasif, seperti antara a) Ahmad broke the vase; b) The vase was broken by Ahmad, dan c) The vase got broken. Bentuk mana yang akan dipilih oleh penutur akan sangat tergantung pada konteks terjadinya pertuturan. Contoh lain kita temukan pada bentuk-bentuk sapaan. Pada sebuah situasi, seorang penutur akan memakai bentuk Mr Ahmad Bakri untuk menyapa seseorang yang bernama Ahmad Bakri, sementara dalam kesempatan lain akan menggunakan Ahmad, dan kesempatan lainnya Prof. Bakri (ketika diketahui ybs itu sudah menjadi guru besar).
- Kesalahan tatabahasa yang terjadi selama proses interaksi bukan merupakan hal fatal, tapi justru merupakan kewajaran dan alamiah. Proses berbahasa yang alamiah akan selalu ditandai oleh ketaksempurnaan bentuk. Oleh karena itu, kesalahan, khususnya tatabahasa, dalam proses belajar bahasa merupakan hal yang lumrah, wajar dan alamiah. Seyogyanya, kesalahan-kesalahan bentuk seperti Yesterday, my Mom and I go to traditional market and we buy some apple, vegetable, and fish tidaklah dianggap sebagai kesalahan besar dan bahkan tak terampunkan, sehingga pembelajar akan menjadi tak bernyali untuk membuat tuturan-tuturan serupa. Kesalahan seperti itu mestinya justru menjadi modal untuk membuat tuturan lainnya yang lebih kreatif.
- Materi pengajaran berbahasa dan aktivitas belajar di kelas harus menggambarkan realitas kehidupan sebenarnya, atau kejadian-kejadian yang potensial akan dialami para siswa. Pemakai bahasa akan lebih mudah mengungkapkan maksud, gagasan dan pikirannya apabila topik-topik itu berkaitan dengan pengalaman atau pengetahuan yang telah diperolehnya. Implikasinya, materi pengajaran seyogyanya didasarkan pada hal-hal yang akan memudahkan pembelajar dalam berekspresi melalui bahasa. Kehidupan keseharian para siswa akan menjadi topik-topik yang potensial untuk dikembangkan dan akan dengan mudah dicerna oleh para siswa. Selain itu, materi pengajaran juga mestinya menggambarkan realitas budaya lokal dari pembelajar, sehingga mereka akan lebih cepat memahami konteks sebuah kejadian, lalu akan lebih mudah pula untuk mengungkapkannya.
- Guru dan siswa secara refleksif mengambil peran-peran yang sesuai dengan kehidupan nyata. Mengingat peran setiap orang akan berubah secara terus-menerus menurut konteks ruang dan waktu, maka baik guru maupun siswa, selama berlangsungnya kegiatan belajar mengajar, hendaknya mampu menyesuaikan diri terhadap peran-peran yang mungkin terjadi atau dialami masing-masing.
- Sistem evaluasi dikembangkan berdasarkan keberhasilan para siswa menyampaikan dan memahami makna yang ditransaksikan sewaktu komunikasi terjadi. Artinya, evaluasi dibuat bukan berdasarkan benar-tidaknya (accuracy and correctness) bentuk bahasa yang diekspresikan siswa, melainkan pada pantas-tidaknya (appropriateness) ekspresi itu dikemukakan menurut konteks kejadiannya. Sejauh bentuk-bentuk kebahasaan yang ditunjukkan oleh para siswa memiliki makna yang utuh, maka siswa tersebut layak untuk mendapat apresiasi.
4.0. Penutup
Makalah ini telah menyajikan sejumlah pemikiran berkaitan dengan pengembangan kompetensi berbahasa melalui pendekatan pragmatik. Kalau kita sepakat bahwa tujuan utama berbahasa adalah untuk berkomunikasi menyampaikan gagasan dan pikiran, maka artinya kita memamndang bahasa itu sebagai sebuah sistem makna, bukan semata-mata sebuah sistem struktur. Dalam kaitan dengan pendidikan kedwibahasaan, pandangan seperti itu menjadi semakin penting mengingat akan banyak sekali ditemukan bentuk-bentuk berbahasa yang belum sempurna, terutama pada tahap awal proses pembelajaran. Sepanjang bentuk-bentuk tak sempurna itu masih dapat dimengerti, maka mereka masih layak untuk ditoleransi.
5.0. Referensi
Bachman, L.F. 1990. Fundamental considerations in language testing. Oxford: OUP.
Baker, C. 1993. Foundations of bilingual education and bilingualism. Clevedon: Multilingual Matters.
Canale, M & M. Swain. 1980. “Theoretical bases of communicative approaches to second language teaching and testing”. Applied Linguistics, vol. 1, No. 1, 1-47.
Chomsky, N. 1965. Aspects of theory of syntax.Cambridge: MIT Press.
Clyne, M. 1983. “Communicative competence in contact”. Dalam L.E. Smith (ed.). Readings in English as an international language.Oxford: Pergamon.
Gumperz, J.J. 1972. “Sociolinguistics and communication in small groups”. Dalam J.P. Pride & J. Holmes (ed.). Sociolinguistics: selected readings. Harmondswoorth: Penguin Books.
Hymes, D. 1972. “On communicative competence”. Dalam J.P. Pride & J. Holmes (ed.). Sociolinguistics: selected readings. Harmondswoorth: Penguin Books.
Krashen, S.D.1981. Second language acquisition and second language learning. Oxford: Pergamon.
Peal, E. & W.E. Lambert (1962). The relationship of bilingualism and intelligence. Psychological Monographs 76 (27), 1-23.
Saville-Troike, M. 1996. ” The ethnography of communication”. Dalam S.L. McKay & N.H. Hornberger (ed.). Sociolinguistics and language teaching.Cambridge: CUP.
Selinker, L. 1972. ‘Interlanguage’. IRAL 10, 209-231.
Spolsky, B. 1989. Conditions for Second Language Learning. Oxford: OUP.
Wilkin, D.A. 1976. Notional syllabus. Oxford: OUP.
Yalden, J. 1983. The communicative syllabus: evaluation, design, and implementation.Oxford: Pergamon.
[1] Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Bahasa II, Universitas Galuh Ciamis, 7-8 Mei 2005.