Oleh : E. Aminudin Aziz
Abstrak
Sebagai alat komunikasi yang paling vital, bahasa, ketika digunakan, dapat dijadikan media yang efektif bagi para partisipan untuk saling memperkenalkan dan menafsirkan keunikan budayanya masing-masing. Upaya menafsirkan budaya tersebut sering kali membawa petaka, bahkan kadang-kadang menjurus pada pengkarakteran seseorang (character stereotyping). Hal ini timbul karena penafsir mengukur baju orang lain dengan ukurannya sendiri. Makalah ini akan menyajikan pandangan tentang hakikat komunikasi lintas budaya, beberapa penyebab petaka komunikasi lintas budaya dan beberapa contoh tentang realisasi pertuturan dari berbagai budaya berdasarkan sejumlah penelitian yang telah dilakukan selama ini. Implikasi bagi pengajaran berbahasa disajikan pada bagian akhir makalah ini.
- 1. Pengantar
Bahasa merupakan media paling vital yang dipakai oleh penuturnya untuk berkomunikasi. Melalui bahasa ini, seseorang akan dapat dikenali asal muasal atau latar belakang budayanya; bahasa dapat menjadi cermin (nilai-nilai) budaya yang dipegang teguh oleh para penuturnya. Sebagian dari nilai-nilai budaya itu memiliki sifat kesemestaan (universality), walaupun sebagian lainnya justru menunjukkan keunikannya. Ketika penutur sebuah bahasa dengan latar belakang budaya yang berbeda melakukan tindak komunikasi, keunikan-keunikan inilah yang justru seringkali membawa ‘petaka’, baik yang sangat sederhana berupa salah faham sejenak atau bahkan sampai pada upaya penyeragaman terhadap penutur lainnya berdasarkan sebuah kasus (stereotyping). Dapat dipastikan bahwa petaka yang terjadi ketika berkomunikasi itu, sebenarnya, bukan (hanya) karena adanya perbedaan kosa kata yang ada pada bahasa-bahasa itu, tapi justru lebih karena adanya perbedaan cara bertutur yang ditunjukkan oleh para penutur bahasa itu.
Perlu disebutkan sejak awal bahwa petaka komunikasi dapat terjadi bukan hanya pada transaksi komunikasi para penutur bahasa yang sama sekali berbeda, misalnya di antara seorang penutur sejati Bahasa Inggris dengan seorang bukan penutur sejati Bahasa Inggris, tetapi justru dapat juga terjadi di antara para penutur sejati dari sebuah bahasa yang sama, tetapi mereka berbeda secara kelompok sosial, seperti ras/keturunan, jenis kelamin, pekerjaan, dan sejenisnya. Perbedaan sosial seperti inipun semestinya dipandang sebagai sebuah bentuk perbedaan budaya yang berpotensi pada adanya perbedaan cara bertutur. Dengan demikian, komunikasi yang terjadi di antara mereka pun harus dipandang sebagai komunikasi lintas budaya juga. Dalam konteks ini, Thomas (1983: 91) secara tegas menyatakan bahwa istilah lintas budaya harus dipandang sebagai “a shorthand way of describing not just native-non-native interactions, but any communication between two people who, in any particular domain, do not share a common linguistic or cultural background. This might include workers and management, members of ethnic minorities and the police, or (when the domain of discourse is academic writing) university lecturers and new undergraduate students”.
Dalam tulisan ini, penulis akan menunjukkan apa yang sudah dinyatakan di atas bahwa petaka komunikasi itu berkait erat bukan (hanya) dengan perbedaan leksikon yang ada di antara dua bahasa tetapi justru karena ketakmampuan para pelaku komunikasi dalam memahami tindak tutur mitranya. Dengan demikian, pembahasan akan diarahkan kepada upaya untuk menjawab sejumlah pertanyaan seperti 1) mengapa petaka komunikasi itu terjadi? 2) ranah tindak tutur mana saja yang lazim membawa petaka? 3) apa implikasi kesantunannya?, dan 4) apa implikasinya bagi praktek pengajaran bahasa?
- 2. Penyebab petaka komunikasi
Austin (1962) menyatakan bahwa kita menggunakan bahasa bukan hanya untuk menyampaikan berita, pikiran, perasaan, dan sejenisnya, tapi terlebih dari itu, melalui bahasa kita juga melakukan tindakan (speech acts). Melalui bahasa, kita meminta, berjanji, menolak, mengancam, menyapa, mengundang, berterima kasih, dan sebagainya. Kita akan secara bulat sepakat bahwa setiap budaya akan secara unik merealisasikan ‘tindak-tindak bahasa’ ini, dan kegagalan komunikasi lintas budaya itu justru akan muncul apabila para pelaku komunikasi melihat keunikan ini dari sudut pandang budayanya sendiri tanpa itikad baik untuk memahaminya (egocentric view). Akibatnya, seringkali ketika dia berkomunikasi dalam bahasa/budaya yang berbeda dengan miliknya sendiri, rutin-rutin komunikasi dalam bahasanya itu langsung dialihkan dan dipakai dalam transaksi komunikasi itu.
Clyne (1983) berpendapat bahwa adanya transfer rutin komunikasi (communication routines transfer) merupakan pemicu timbulnya kegagalan komunikasi lintas budaya (yang dalam istilah Thomas (1983) disebut dengan cross-cultural pragmatic failure). Clyne kemudian menyajikan alasan dan contoh-contoh berikut ini:
- Petaka komunikasi sangat mungkin terjadi karena memang ada sejumlah formula yang berbeda pada setiap bahasa. Aka tetapi pada kenyataannya formula-formula itu justru dipakai untuk menyampaikan tindak bahasa yang sama. Misalnya, kalau kita berada di sebuah gedung pertemuan dan merasa ingin duduk, kemudian melihat ada kursi yang masih kosong, dalam bahasa Inggris kita akan bertanya Is this seat taken? (“Apa kursi ini sudah ada yang menduduki?”). Sementara itu, dalam bahasa Jerman kita akan bertanya Ist dieser Platz noch frei? (“Apakah kursi ini masih kosong?”). Pola terakhir ini tampaknya juga berlaku dalam bahasa-bahasa Italia, Perancis, dan bahasa Indonesia. Apabila pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi seperti ini berasal dari budaya yang berbeda, maka jawaban sederhana berupa “Ya”, akan menimbulkan kebingungan pada masing-masing pihak: “Ya, sudah ada yang mengisi (tetapi yang bersangkutan sekarang sedang ada perlu keluar terlebih dulu)” atau “Ya masih kosong (dan oleh karenanya Anda boleh duduk)”. Demikian pula jawaban berupa anggukan, yang memang secara intrinsik sudah multitafsir. Apakah anggukan itu berupa persetujuan atau justru bantahan dari ‘penutur’ terhadap mitranya, semuanya serba belum jelas.
- Petaka komunikasi sangat mungkin terjadi karena memang ada sejumlah formula yang strukturnya sejenis, tapi formula-formula itu justru dipakai untuk menyatakan tindak bahasa yang berbeda. Misalnya, dalam bahasa Inggris Australia, kita kerap mendengar ungkapan How are you (going)? sebagai basa-basi dalam menyampaikan salam ketika saling bertemu. Sebaliknya, pertanyaan Apa kabar? dalam Bahasa Indonesia, Kumaha damang? dalam Bahasa Sunda, dan padanannya dalam bahasa Perancis, Jerman, dan Italia, umumnya akan difahami sebagai pertanyaan tentang kondisi ril (kesehatan) mitra tutur. Akibatnya, seringkali, jawaban yang diberikan terhadap pertanyaan seperti ini adalah berupa ‘deskripsi’ kondisi ril kesehatan penutur, yang tentu saja akan membuat frustrasi seorang penutur Bahasa Inggris dari Australia. Hal ini karena penutur dengan latar belakang budaya Australia tidak terbiasa dengan jawaban seperti itu.
- Petaka komunikasi dapat juga terjadi karena memang ada sejumlah formula yang strukturnya sejenis tapi dipakai untuk menyatakan tindak bahasa yang saling berlawanan. Ungkapan thank you pada kebanyakan negara di benua Eropa, terima kasih dalam Bahasa Indonesia dan nuhun dalam Bahasa Sunda, misalnya, seringkali dipakai untuk ‘menolak’ sebuah tawaran untuk minum teh, kopi, anggur, dan sebagainya. Sementara itu, ungkapan yang sama akan bermakna ‘menerima’ kalau dipakai oleh para penutur bahasa Inggris.
- 3. Petaka komunikasi dalam Tindak Tutur
Penelitian lintas budaya menunjukkan bahwa petaka komunikasi dapat terjadi hampir pada semua ranah tindak tutur. Selain itu, adanya persepsi dan pemahaman yang berbeda pada masing-masing budaya tentang medium atau mode komunikasi yang digunakan, juga sangat berpotensi untuk timbulnya petaka dalam komunikasi. Misalnya, dalam budaya yang menganggap komunikasi lisan bersewajah sebagai komunikasi yang ‘sebenarnya’, akan memandang komunikasi lewat telefon sebagai komunikasi yang ‘semu’ dan hasil-hasil pembicaraan yang dilakukan melalui media terakhir ini tidak memiliki ‘kekuatan hukum’, sehingga tidak akan ada komitmen untuk mematuhinya. Tentu saja hal ini berlaku juga pada budaya yang memandang bahwa pembicaraan yang menuntut komitmen haruslah selalu dilakukan melalui komunikasi tulis. Bahkan dalam budaya Indonesia secara umum, kita menyaksikan kenyataan bahwa komunikasi dengan atasan haruslah selalu dilakukan melalui pertemuan lisan bersewajah, sebab pembicaraan lewat telefon dipandang kurang mencerminkan kesantunan. Akibatnya, kita menyaksikan banyak orang rela berjam-jam menunggu ‘hanya’ agar dapat berbicara dengan seorang atasan/pejabat.
Pada bagian selanjutnya, penulis ingin menyajikan beberapa ranah tindak komunikasi yang telah banyak memperoleh perhatian para peneliti komunikasi/pragmatik lintas budaya.
- a. Tuturan Meminta
Ranah tuturan meminta ini banyak menarik perhatian para peneliti karena adanya kompleksitas hubungan antara bentuk, makna, dan prasyarat pragmatik yang terlibat dalam sebuah tuturan meminta (Gordon&Lakoff, 1975; Searle, 1975). Tuturan meminta adalah pre-event acts (Blum-Kulka, dkk. 1989: 11), yang mengindikasikan adanya harapan dari seorang penutur agar tuturannya diperhatikan (dan kemudian dikerjakan) oleh mitranya, baik berupa respon verbal maupun nonverbal. Brown & Levinson (1987) memandang tuturan meminta ini sebagai tuturan yang mengancam wajah (face-threatening act), dalam hal ini wajah mitra tutur. Hal itu karena mitra tutur akan sangat mungkin melihat sebuah permintaan sebagai bentuk tindakan yang menganggu kemerdekaannya atau upaya penutur untuk unjuk kekuatan (power exercise). Sebaliknya, karena menyadari hakikat sepeti ini, seorang penutur akan berupaya agar tuturannya tidak membawa akibat hilangnya wajah mitra tuturnya. Dalam konteks inilah, kemudian, seorang penutur harus mampu memilih bentuk-bentuk strategi yang pantas untuk dinyatakan terhadap mitra tuturnya. Sekalipun santun bahasa itu diyakini sebagai sebuah gejala yang universal, realisasi strategi untuk menyatakan kesantunan itu ternyata berbeda-beda dalam setiap budayanya.
Searle (1975) percaya bahwa banyak sekali maksud komunikasi yang tidak dinyatakan secara langsung, melainkan melalui cara-cara yang terselubung. Perhatikanlah ungkapan berikut ini:
[1] Sudah lama di sini nggak hujan, ya?
[2] Kayaknya enak tuh kalau ngobrolnya sambil menghangatkan badan.
[3] Kalau saja ada yang rela mijitin, tak kasih Rp 5.000,-
Ungkapan-ungkapan di atas sangat mungkin tidak difahami maksudnya oleh (sebagian) mitra tutur. Hal itu terjadi karena penutur telah membungkus maksud tuturannya dengan ungkapan-ungkapan bersayap. Kalimat [1], misalnya, ketika dinyatakan oleh seseorang yang sedang bertamu dan hubungan dirinya dengan tuan rumah secara emosional cukup dekat tidaklah akan ditafsirkan sebagai sebuah permintaan yang kurang santun, sebab ungkapan ironis ini sebenarnya dimaksudkan hanya untuk mengingatkan tuan rumah agar ‘segera memberikan air minum’ kepada tamu itu. Lain halnya apabila antara tamu dengan tuan rumah belum terjalin ikatan emosional yang cukup dekat. Selain tamu tadi tidak (atau kurang) mungkin menyatakan bentuk ironi seperti di atas (walaupun sangat mungkin tamu mengisyaratkannya dengan menelan-nelan air liur sebagai isyarat kehausan), tuan rumah juga sangat mungkin menyampaikan jawaban yang justru dapat mengagetkan tamu. Misalnya,
[4] Memang. Tuh di mana-mana banyak debu. Bahkan banyak tetangga yang sudah tak punya air.
atau
[5] Ah nggak! Baru dua hari lalu hujan, malahan sempat luber juga tuh selokan depan rumah.
Tentu saja, jawaban pada [4] dan [5] bukanlah merupakan jawaban yang sebenarnya ‘diharapkan’ oleh tamu, karena yang dia tunggu adalah segelas air minum. (Walaupun sebenarnya bisa saja ada maksud lain dari tuan rumah, yaitu membuat ‘ironi tandingan’ sebagai bentuk penolakan untuk menyediakan minum bagi ‘tamunya’, karena rasa jengkel terhadap tamu, misalnya. Tapi, kasus ini mungkin sangat jarang ditemukan).
Contoh ungkapan [2] sebenarnya dimaksudkan oleh penutur sebagai cara tak langsung kepada mitra tuturnya agar, misalnya, menyediakan minuman (dan makanan) hangat ketika sedang obrol-obrol di waktu udara dingin. Akan tetapi, kegamangan dapat saja timbul pada pihak penutur ketika, misalnya, mitra tutur bukannya mengambilkan minuman dan makanan penghangat tubuh seperti teh atau kopi panas, melainkan jawaban seperti
[6] Kita pasang heater aja ya?
Sementara itu, ungkapan [3] dapat saja direspon dengan jawaban seperti pada kalimat [7] kalau audiens yang ada di sekitar penutur tidak memahami maksud tuturan tersebut. Padahal, mungkin saja, penutur, seorang suami/ayah meminta istrinya atau anaknya untuk memijatnya.
[7] Mana ada orang mau dibayar Rp 5.000,- buat disuruh mijitin?
Pada contoh-contoh dia atas, terutama [1] dan [3], kita melihat bagaimana seorang penutur menyampaikan maksudnya dengan cara yang sangat terselubung dan menyandarkan harapannya kepada pihak ketiga. Strategi seperti ini sebenarnya ditujukan sebagai upaya penutur untuk menyelamatkan baik wajahnya atau wajah mitra tuturnya. Apabila ternyata mitra tuturnya menolak keinginan penutur, misalnya pada kasus [3], dengan mengatakan
[8] Mamah juga justru capek, mana ada tenaga buat mijitin Papah?
maka dia (suami) dapat menghindar/berkelit dengan mengatakan bahwa yang diminta memijat itu ‘bukanlah’ istrinya, melainkan orang lain yang rela dibayar Rp 5.000,-.
Contoh petaka komunikasi yang digambarkan di atas sangat mungkin kita temukan karena adanya perbedaan budaya yang dimiliki (dan difahami) oleh penutur dan mitra tuturnya. Padahal, kita tahu bahwa masing-masing pihak yang terlibat dalam tindak komunikasi di atas berasal dari atau berbicara dengan bahasa yang sama. Pada kasus lain yang melibatkan penutur dari budaya atau bahasa yang berbeda, terjadinya petaka komunikasi dapat dipicu oleh karena adanya alih pola (transfer of patterns). Dalam Bahasa Inggris, misalnya, kata please hampir selalu menyertai sebuah permintaan yang santun, sementara dalam Bahasa Indonesia kita tidak menemukan padanan kata ini dengan fungsi yang persis sama untuk setiap konteksnya. Dengan demikian, ketika seseorang dengan latar belakang bahasa Indonesia berbicara dalam Bahasa Inggris dan senantiasa ‘lupa’ untuk menyertai permintannya dengan please, maka tentu saja hal itu akan membuat ‘gerah’ penutur sejati Bahasa Inggris. Sebaliknya, penutur sejati Bahasa Indonesia akan merasa ‘gatal’ telinganya ketika terus-menerus mendengar ungkapan yang dipandang ekuivalen dengan please ini. Hal ini, misalnya dapat dilihat pada pemakaian kata silakan dalam kalimat [9] di bawah ini. Pada contoh itu, jelas sekali bahwa kata silakan dianggap penuturnya sebagai padanan dari kata please.
[A menawari tamunya, B, untuk minum kopi]
[9] A: Apakah Anda mau minum kopi?
B: Ya, silakan.
Pada tindak komunikasi [9], selain adanya transfer bentuk rutin komunikasi, kita juga menemukan adanya transfer budaya. Seseorang dengan latar belakang budaya Indonesia, nampaknya akan merasa enggan untuk menerima sebuah tawaran dengan langsung menyatakan Ya, silakan. Walaupun dia akan menerima tawaran seperti itu, ungkapan yang lebih mencerminkan kebiasaan (baca: budaya) Indonesia adalah Ya, boleh, sebab, bagaimanapun, dalam kata silakan, sampai kadar tertentu, tersirat adanya permintaan (baca: suruhan) lanjutan kepada mitra tutur dan tidak demikian halnya pada kata boleh yang menyertai jawaban Ya.
Dalam sebuah studi tentang realisasi tuturan meminta oleh para pembelajar Bahasa Inggris tingkat lanjut, penulis (Aziz 2002) menemukan bahwa lebih dari 80 persen responden tidak menggunakan ungkapan please ketika menyampaikan sebuah permintaan. Selain itu, sekitar 75 persen responden menggunakan kata can dalam membuat tuturan meminta, yang mayoritas (sekitar 70 persen) mengorientasikan permintaannya terhadap mitra tutur (you), seperti misalnya terlihat pada kalimat [12]
[12] Can you give me an extension for the submission of the final assignment?
Penggunaan kata can, orientasi permintaan yang tertuju pada mitra tutur (you) dan bukannya pada penutur (I), (seperti misalnya dengan ungkapan Can I …) dan hilangnya kata please dalam sebuah tuturan dengan seorang dosen seperti pada [12] di atas, tentu saja dapat dipandang sebagai sebuah bentuk kekurangsantunan, walaupun tentu saja tidak boleh dipandang sebagai bentuk yang tak santun.
Wierzbicka (1985) menemukan kasus yang mirip dengan kasus seperti di atas pada Bahasa Polandia. Ada tendensi (dan ini memang sudah menjadi bagian dari cara berbahasa orang Polandia) bahwa menyapa seseorang dengan menggunakan nama pertama (first name) yang didahului oleh kata sapaan yang sepadan dengan (Ba)pak/(I)bu atau Mr/Mrs. adalah hal yang sangat wajar dan diterima. Sehingga, ketika seorang tamu terhormat, misalnya bernama Vanessa Smith, diminta duduk, seorang Polandia akan mengatakan
[11] Mrs. Vanessa! Please! Sit! Sit!
Di sini jelas sekali bahwa penggunaan Mrs. pada kalimat di atas bertentangan dengan ‘budaya’ dan ‘norma’ bahasa Inggris, yang menuntut pemakaian nama keluarga sesudah Mr atau Mrs. (yang dalam kasus di atas seharusnya akan menjadi Mrs. Smith). Akan tetapi, hal lain yang lebih menarik adalah penggunaan imperatif sit yang tidak diikuti oleh partikel down yang berfungsi sebagai pelembut (mitigator) ungkapan permintaan. Dalam budaya bahasa Inggris, kata sit tanpa partikel ini biasanya dipakai ketika berkomunikasi dengan binatang, seperti anjing. Sebaliknya, dalam pandangan orang Polandia, frase sit down seperti dalam kasus di atas, tidaklah tepat untuk digunakan, karena hal itu menunjukkan ketidakikhlasan dan sekaligus ketidaksantunan penutur dalam meminta seseorang untuk duduk. Terlebih dari itu, frase tersebut sangat mungkin akan ditafsirkan bukan sebagai permintaan untuk duduk, tapi yang lainnya.
- b. Tuturan Menolak
Jenis tuturan lain yang berpotensi untuk timbulnya petaka dalam komunikasi lintas budaya adalah tuturan menolak. Tidak seperti pada tuturan meminta yang menuntut penutur untuk memasang strategi tertentu kalau ingin mitranya tidak kehilangan wajah, pada tuturan menolak ini justru mitra tutur yang harus mengambil ancang-ancang dan berupaya agar penutur terdahulu (yang kini menjadi mitra tutur) tidak kehilangan wajah.
Sebenarnya, kemungkinan ‘hilang wajah’ akibat sebuah permintaannya ditolak adalah hal yang harus diantisipasi sejak awal oleh seorang penutur. Akan tetapi, kejadian hilang wajah ini akan lebih parah justru apabila penutur tidak mampu menafsirkan bahwa sebuah tuturan itu sebenarnya bermuatan penolakan. Dalam kondisi seperti ini, penutur tersebut mungkin akan kehilangan wajah dua kali. Melalui serangkaian penelitian yang sangat ekstensif tentang realisasi tuturan menolak oleh para penutur Bahasa Sunda dan Indonesia, penulis (Aziz 1996; 2000) menemukan adanya sejumlah strategi menolak yang justru sangat berpotensi membawa petaka dalam komunikasi lintas budaya. Strategi-strategi itu di antaranya adalah memberi peluang lain (offering an alternative), tak memberi kepastian (general acceptance but giving no details), menunda jawaban (postponement), dan tetap diam (silent).
Jawaban seorang penutur sejati Bahasa Indonesia terhadap sebuah undangan untuk makan malam, misalnya, berupa ungkapan pada [13] dan [14] sangat mungkin mengundang decak tanya bahkan kebingungan pada pihak pengundang, apakah sebenarnya penutur menerima atau menolak.
[13] Insya Allah deh kalau bisa.
[14] Oke lah, gimana nanti.
Decak tanya dan kebingungan itu akan lebih serius kalau pengundang bukan berasal dari kalangan penutur Bahasa Indonesia. Kebingungan penanggap tutur terjadi karena tidak adanya kepastian yang diberikan oleh penutur, padahal, bagi mitra tutur yang berlatar belakang Bahasa Inggris, misalnya, sangat mengharapkan adanya kepastian seperti itu itu. Hal yang sama dapat kita temukan pula pada masyarakat Korea yang akan senantiasa menolak sebuah ajakan pada kesempatan pertama. Baru kemudian setelah beberapa episode pertukaran tuturan, ajakan itu pada akhirnya akan diterima (kecuali tentunya pada saat mitra tutur benar-benar tidak akan bisa mengabulkan permintaan penutur). Sementara itu, pada masyarakat Jepang, Cina, dan Vietnam, jawaban yang dimaksudkan sebagai penolakan terhadap undangan seperti itu seringkali diawali dengan Terima kasih yang harus ditafsirkan sebagai ‘terima kasih telah mengundang saya’. Ujungnya, para penutur bahasa-bahasa ini akan menyampaikan alasan yang tidak selalu jelas bahwa mereka tidak bisa memenuhi undangan itu. Bagi mereka, menolak sebuah undangan secara langsung bukanlah sesuatu yang terhormat. Oleh karenanya, menyatakan terima kasih pada awal jawaban dapat kiranya menjadi ‘penawar kekecewaan’ pihak yang mengundang, karena penutur tidak dapat hadir.
Memilih tetap diam ketika dimintai melakukan sesuatu ternyata tidak selalu paralel dengan ungkapan ‘diam adalah emas’, sebab diam ternyata memiliki tafsir yang beragam sesuai dengan budaya masing-masing pihak yang terlibat dalam komunikasi. Lebih dari 75 persen responden pada penelitian yang penulis lakukan (Aziz 2000) menyatakan bahwa mereka akan sangat tersinggung apabila mitra tuturnya hanya membalas dengan sikap diam permintaan yang disampaikannya. Oleh karenanya, mereka merasa lebih dihargai dengan diberi jawaban penolakan yang terus terang, daripada didiamkan. Dalam konteks ini, diam dapat dipandang sebagai bentuk ketakinginan seseorang untuk berkomunikasi, yang dalam konteks ini tentunya melanggar prinsip kerjasama (Cooperative Principle) yang dikemukakan Grice (1978), khususnya maksim kuantitas. Di sinilah pentingnya implementasi dan pemahaman prinsip-prinsip saling tenggang rasa (Aziz 2002) dalam melakukan komunikasi, lebih-lebih dalam komunikasi lintas budaya.
Menurut masyarakat tertentu, seperti pada kebanyakan masyarakat Amerika, kalau kita bertanya tentang suatu masalah dan memperoleh ‘jawaban’ diam, maka itu bermakna ‘tidak’, sedangkan pada masyarakat Inggris diam dapat berarti ‘mungkin’, atau ‘I’ll write later when I have something to say’ (Rubin, 1983: 13). Sementara itu, pada masyarakat Apache Barat, seseorang akan diam apabila 1) bertemu dengan orang asing untuk pertama kali; 2) pada awal pembukaan sebuah persidangan; 3) ketika anak-anak kembali ke pangkuan keluarga dan teman-temannya setelah lama merantau; 4) ketika sedang dimarahi; 5) ketika sedang bersama orang yang berduka; dan 6) ketika sedang bersama orang yang dido’akan kesembuhannya dalam sebuah upacara tolak bala (Basso, 1972: 71-80).
- c. Mengambil Giliran dalam Pertuturan
Ranah lain yang menarik perhatian para peneliti komunikasi lintas budaya berkaitan dengan cara para pelaku komunikasi dalam melibatkan diri pada sebuah pembicaraan bersama (turn taking). Hakikat komunikasi adalah bertukar informasi. Oleh karenanya, semua pihak yang terlibat harus berkontribusi secara aktif agar tindak komunikasi itu bermanfaat bagi semuanya. Akan tetapi, keaktivan seseorang ternyata tidaklah dapat dinilai dari jumlah kontribusi verbal yang dia berikan pada sebuah episode komunikasi. Hal ini menjadi masalah penting kalau sudah berkaitan dengan persepsi para pelaku komunikasi tentang prinsip ambil bagian itu.
Isyarat agar mitra tutur mengambil giliran dalam berbicara dapat ditunjukkan misalnya melalui ungkapan ‘you know’, ‘something’, pertanyaan (bu)kan?, dan sebagainya. Selain itu, isyarat tersebut dapat juga ditemukan pada aspek-aspek suprasegmental yang menyertai sebuah tuturan: meninggikan atau merendahkan nada bicara menjelang akhir, memberi tekanan pada kata-kata tertentu, dan sebagainya. Hening sejenak dan isyarat tubuh adalah dua di antara isyarat yang lazim dipakai agar mitra segera mengambil giliran berbicara.
Masyarakat Turki dan Jepang, misalnya, dikenal sebagai kelompok yang gemar bertutur panjang kalau sudah memperoleh giliran untuk berbicara (Clyne & Platt, 1991: 40). Akibatnya, orang-orang Turki sering mendapat ‘kesulitan’ ketika berbicara dengan mitra yang memiliki kebiasaan bergiliran bicara secara pendek-pendek, seperti misalnya ditemukan pada masyarakat Australia, Jerman, dan Perancis. Orang Turki tidak terbiasa menyela seseorang yang baru sebentar saja berbicara sekalipun mitra tuturnya sudah memberi isyarat dengan hening atau isyarat non-verbal lainnya agar gilirannya diambil alih (Barkowski, dkk seperti dikutip dalam Clyne & Platt 1991). Hal ini jelas-jelas berbeda dengan orang Australia, Perancis, dan Jerman, yang tidak suka berlama-lama kalau berbicara; mereka ini dalam waktu singkat akan memberikan giliran kepada orang lain untuk ikut terlibat berbicara. Orang Finlandia memerlukan hening untuk berefleksi selama pembicaraan berlangsung, sementara orang Jerman dan Italia tidak biasa melakukan itu, dan akan terus berbicara sambil berpikir (Schroder, seperti dikutip oleh Clyne & Platt, 1991).
Ditemukan bukti (Tannen, 1994) bahwa orang New York sangat gemar berbicara secara bersamaan dan saling menyela ketika pembicaraan berlangsung, terutama dalam situasi yang tidak formal. Bagi orang New York, kebiasaan seperti itu merupakan bukti bahwa mereka itu “supportive rather than obstructive, evidence of not domination but of participation, not power, but the paradoxically related dimension, solidarity” (1994: 62). Tentu saja, seperti juga diakui Tannen, kebiasaan itu akan membuat frustrasi para mitra tutur yang memegang prinsip ‘hanya seorang yang boleh berbicara pada satu waktu, dan lainnya harus menyimak’.
- d. Penamaan dan Sapaan
Di kebanyakan budaya, khususnya di negara-negara Barat, seseorang setidaknya akan memiliki dua nama, yaitu nama depan (given name) dan nama keluarga (surname/family name). Hal ini tidak selalu berlaku pada masyarakat Indonesia, yang pada umumnya hanya memiliki satu nama. Walaupun ada yang memiliki dua nama, maka nama belakang tidak selalu menunjukkan nama keluarga. Asep Supardi atau Joko Martono, misalnya, tidaklah berarti bahwa Supardi dan Martono adalah nama ayah dari Asep dan Joko, karena sangat mungkin nama ayah dari masing-masing orang tersebut sangat berbeda. Akan tetapi, akhir-akhir ini ada trend, terutama di kalangan kelas menengah ke atas untuk mencantumkan nama ayah di belakang nama seorang anak.
Keunikan prosedur pemberian nama pada masyarakat Indonesia ini ternyata berpeluang pada terjadinya petaka budaya. Misalnya, beberapa mahasiswa Indonesia yang belajar di sebuah universitas di Australia yang kebetulan hanya memiliki satu nama sempat mengalami masalah yang cukup ‘fatal’. Ketika harus mengisi berbagai formulir, mereka mendapat kesulitan, karena ke dalam formulir itu mereka harus memasukkan surname, padahal mereka tidak memilikinya. Mereka dihadapkan, paling tidak, kepada tiga pilihan, yaitu: pertama, mereka mengisi surname dengan nama ayahnya, yang tentu saja secara de facto tidak ditemukan dalam dokumen keimigrasiannya, seperti pada paspor; kedua, mereka mengisi kolom surname dengan mereduplikasi nama mereka sendiri, dengan resiko nama mereka akan tercetak sama dua kali (misalnya yang bernama Sumarno akan memperoleh nama baru dalam dokumen sebagai Sumarno Sumarno); atau ketiga, mereka akan tetap mengosongkan bagian surname itu tidak terisi, dan ini nampaknya sesuatu yang tidak mungkin diizinkan oleh pihak universitas. Akhirnya, beberapa di antara mereka ada yang memutuskan untuk memilih opsi pertama, dan beberapa di antaranya memilih opsi kedua.
Salah satu akibat dari tidak dimilikinya nama keluarga pada kebanyakan masyarakat Indonesia ternyata berdampak pada prosedur penyapaan, terutama kalau melibatkan mitra tutur dari latar belakang budaya yang berbeda. Dengan mengambil kasus Asep Supriadi dan Joko Martono di atas, penutur berbahasa Inggris dalam situasi yang relatif formal akan memanggil Asep Supriadi dengan Mr Supriadi dan Joko Martono dengan Mr Martono. Tidak akan pernah para penutur Bahasa Inggris itu menyapa Asep Supardi dan Joko Martono masing-masing dengan Mr Asep dan Mr Joko, padahal dalam konteks Indonesia, mereka pasti akan dipanggil dengan sapaan Pak Asep dan Pak Joko. Hal ini sangat berbeda dengan kebiasaan para penutur Bahasa Indonesia pada umumnya yang akan memanggil James Brown dengan Mr James, dan nampaknya sedikit sekali yang akan menggunakan pola sapaan Mr Brown. Ini jelas-jelas merupakan masalah lintas budaya, yang kalau tidak difahami secara benar akan menyebabkan petaka lebih serius.
Tidak seperti pada masyarakat penutur Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris umumnya, di kalangan masyarakat penutur Bahasa Cina, Vietnam, dan Korea berlaku sistem penempatan nama keluarga pada awal nama. Bahkan, tidak seperti umumnya masyarakat Cina di daratan Cina (RRC), para penutur Bahasa Cina di Asia Tenggara biasanya memiliki tiga nama, yang terdiri dari satu nama keluarga yang disimpan di awal, dan dua nama diri yang ditempatkan kemudian, misalnya Lim Kiat Boey. Sementara itu, prosedur penamaan di kalangan penutur Bahasa Melayu di Malaysia menggunakan bin (untuk laki-laki) dan binti (perempuan) diikuti oleh nama ayah, seperti Rashid bin Sidek, Rafidah binti Omar.
- e. Organisasi Wacana
Kaidah pengorganisasian wacana ternyata beragam di antara satu budaya dengan budaya lainnya. Hal itu tentunya sangat berpengaruh terhadap pembaca (dan penyimak) dalam menyikapi atau menilai wacana itu. Melalui beberapa penelitiannya, Clyne (1981) menyimpulkan bahwa adanya perbedaan organisasi wacana, khususnya wacana tulis, ditentukan oleh empat perbedaan dasar dalam orientasi berwacana:
- Ada sebagian budaya yang lebih mementingkan kecakapan verbal, sementara budaya lainnya lebih menekankan pada budaya literasi (tulis). Berbeda dengan budaya akademik Australia, Swiss dan Skandinavia, dalam sistem pendidikan Amerika, Jerman, dan Italia, misalnya, para siswa didorong untuk piawai berbicara. Khusus dalam budaya akademik Australia, kepiawaian membuat teks essei mendapat perhatian cukup serius sehingga para siswa dilatih untuk dapat mengembangkannya.
- Ada sebagian budaya, seperti yang berlatarbelakang bahasa Inggris, yang menyusun wacana secara lebih formal dibandingkan dengan budaya lainnya. Mengutip pendapat Galtung, Clyne mengatakan bahwa hal ini “introduces another culture clash, between those, such as German/Central European, that are knowledge-based, theory priented, and elitist, and those, such as the English-based ones, that are more pragmatic and democratic”
- Setiap budaya melihat ritme wacana secara berbeda, ada yang fleksibel dan ada yang kaku. Clyne memberikan contoh teks akademik yang dihasilkan oleh linguis dan sosiolog berlatar belakang bahasa/budaya Inggris yang menurutnya dapat dikategorikan lebih ‘simetris’ dibandingkan dengan teks yang dihasilkan oleh linguis dan sosiolog berlatar belakang bahasa/budaya Jerman. Para penutur Bahasa Jerman ketika menulis teks, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Jerman, akan menyajikan argumen secara panjang lebar pada bagian-bagian tertentu, sementara bagian lainnya akan dibuat pendek saja, dan ini berbeda dengan para penulis dengan latar belakang budaya/bahasa Inggris.
- Ada budaya yang mengharuskan menulis teks secara linier (satu alur), sementara yang lainnya lebih digresif (menyebar), dan ada pula yang sirkular (berputar). Gaya wacana pertama (linier) umumnya dapat kita temukan pada tulisan para penutur Bahasa Inggris, yang kedua pada tulisan penutur Bahasa Jerman, dan gaya ketiga pada penutur Bahasa Indonesia, Cina, Jepang, atau Korea. Teks linier dipandang lebih bagus menurut lingkungan budayanya, karena hal itu menunjukkan kesatupaduan atau keutuhan (coherence) berpikir penulisnya. Sementara itu, teks digresif, yang di dalamnya akan tergambar potongan-potongan argumen yang bercabang-cabang, dipandang hebat dalam budayanya karena hal itu menunjukkan keluasan pengetahuan penulisnya. Adapun teks sirkuler dipandang lebih cocok untuk dikembangkan dalam menulis wacana karena hal itu, menurut penganutnya, menunjukkan kerendahan hati penulisnya dan tidak ingin menonjolkan keluasan ilmu yang dimilikinya. Tentu saja, gaya wacana yang berbeda ini akan mempunyai efek tertentu dalam tindak komunikasi lintas budaya.
- 4. Implikasi bagi Praktek Pengajaran Bahasa
Tujuan ideal pengajaran bahasa, baik bahasa pertama, kedua, maupun asing, adalah menjadikan para pembelajar piawai dalam menggunakan bahasa menurut konteks pemakaiannya. Artinya, keberhasilan pengajaran bahasa akan dapat dilihat, salah satunya, dan justru ini merupakan indikator terpenting, melalui kompetensi pragmatik para pembelajarnya. Bahasa yang mereka gunakan ketika berkomunikasi hendaknya nampak wajar dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat pemakainya.
Hasil penelitian tentang tingkat kewajaran komunikasi para pembelajar Bahasa Inggris tingkat lanjut dalam tindak tutur meminta (requesting) dan memohon maaf (apologising) (Aziz & Lukmana, 2002) yang ditakar oleh penutur sejati Bahasa Inggris menunjukkan bahwa lebih dari 35 persen realisasi tuturan mereka dipandang tidak wajar dan berpotensi menyinggung perasaan para penutur sejati Bahasa Inggris. Ketika mereka menyampaikan permintaan, misalnya, mereka hampir selalu tidak mengikutinya dengan ungkapan-ungkapan pelembut seperti please, excuse me atau yang sejenisnya yang menunjukkan bahwa permintaan itu akan mengganggu kepentingan mitra tutur. Sementara itu, ketika memohon maaf, para pembelajar itu lebih banyak menggunakan ekspresi pendek I’m sorry tanpa diikuti oleh penjelasan lanjutan atas sebuah ‘kesalahan’ atau ‘kelalaian’ yang telah diperbuatnya.
Kenyataan di atas menyiratkan perlunya pembenahan praktek pengajaran bahasa. Fakta di dihadapan kita, baik berupa hasil-hasil penelitian tentang praktek pengajaran bahasa, kurikulum pendidikan bahasa, maupun buku pelajaran bahasa menunjukkan bahwa sejauh ini orientasi pengajaran bahasa, khususnya Bahasa Inggris, masih pada penguasaan kemampuan membaca dan kecakapan memahami tatabahasa. Sementara itu, pengenalan terhadap budaya target masih nampak kurang sekali. Di sini, tampaknya, peran guru sangat menentukan ketika menjelaskan variabel budaya ini, kalau kita sependapat bahwa bahan-bahan seperti ini tidak mungkin dijejalkan pada buku pelajaran bahasa. Artinya, di dalam kelas, guru harus memberikan penjelasan kepada para siswanya tentang budaya bertutur para penutur bahasa target. Dan sinilah pentingnya dua hal: 1) adanya pelatihan budaya untuk mereka yang telah menjadi guru-guru bahasa (asing terutama), sehingga mereka mendapat penyegaran; dan 2) pembenahan kurikulum pendidikan bahasa di perguruan tinggi untuk menambah porsi yang lebih banyak terhadap matakuliah yang berkaitan dengan budaya bahasa target. Hal ini tentunya mengisyaratkan perlunya penyediaan dan kesiapan tenaga pengajar yang dianggap pantas mengajarkan komunikasi lintas budaya.
- 5. Simpulan
Melalui artikel ini, penulis telah menyajikan beberapa isu penting yang senantiasa terjadi dan dihadapi oleh para pelaku komunikasi lintas budaya. Di sini perlu difahami bahwa komunikasi lintas budaya tidak selalu mengisyaratkan pertukaran informasi di antara dua pelaku yang sama sekali berbeda bahasanya, tetapi juga menunjuk pada para pelaku yang berbahasa sama, tetapi mereka berbeda dalam variabel sosial lainnya.
Kita melihat bahwa petaka komunikasi yang terjadi di antara para pelaku komunikasi lintas budaya ini lebih disebabkan oleh karena 1) adanya keengganan mereka untuk saling memahami (perbedaan) budaya realisasi bertutur masing-masing; dan 2) mengukur budaya bertutur mitra tutur dengan menggunakan kerangka penilaian yang ada pada dirinya: mengukur baju orang lain dengan pola sendiri. Kalau dua hal ini dapat diminimalkan, maka dapat diyakini bahwa petaka komunikasi akan dapat dihindari. Media yang paling efektif digunakan untuk menangani hal ini adalah melalui pengenalan budaya target kepada para pembelajar bahasa secara terarah dan terprogram.
Referensi
Austin, J.L. 1962. How to do things with words. Oxford: OUP.
Aziz, E. Aminudin. 1996. The language of refusals in Sundanese society: a workplace case. Tesis M.A. pada Department of Linguistics, Monash University, Australia. Tidak diterbitkan.
Aziz, E. Aminudin. 2000. Refusing in Indonesian: strategies and ploiteness implications. Tesis Ph.D. pada Department of Linguistics, Monash University, Australia. Tidak diterbitkan.
Aziz, E. Aminudin. 2002. Realisasi pertuturan meminta (requesting) oleh pembelajar Bahasa Inggris sebagai bahasa asing dalam konteks budaya Indonesia. Laporan Penelitian Program Due-like Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak Diterbitkan.
Aziz, E. Aminudin & Iwa Lukmana. 2002. Menakar Kewajaran Komunikasi Pembelajar Bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing dalam Realisasi Pertuturan: Studi Kasus di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris FPBS Universitas Pendidikan Indonesia. Laporan Penelitian Dana Rutin Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak Diterbitkan.
Basso, K. 1972. To give up on words: silence in Western Apache culture. Dalam P.P. Giglioli (ed). Language and social context. Baltimore: Penguin.
Blum-Kulka, S., J. House & G. Kasper. 1989: Investigating cross-cultural pragmatics: an introductory overview. Dalam S. Blum-Kulka, J. House & G. Kasper. (ed). Cross-cultural pragmatics: requests and apologies. Norwood: Ablex. Halaman 1-34.
Brown, P & S.D. Levinson. 1987. Politeness: universals in language usage. Cambridge: CUP.
Clyne, M. 1981. Culture and discourse structure. Journal of Pragmatics. Vol 5. Halaman 61-66.
Clyne, M. 1983. Communicative competence in contact. Dalam L. Smith (ed). Readings in English as an international language. Oxford: Pergamon. Halaman 147-161.
Clyne, M. & J.P.Platt. 1991. The role of language in cross-cultural communication. Dalam Proceedings of the conference on cross-cultural communication in the health professions. National Centre for Community Languages in the Professions: Monash University, Melbourne. Halaman 38-55.
Gordon, D. & G. Lakoff. 1975. Conversational postulates. Dalam P. Cole & J. Morgan (ed). Syntax and Semantics 3: Speech Acts. NY: Academic Press. Halaman 83-106.
Grice, H.P. 1975. Logic and conversation. Dalam P. Cole & J.L.Morgan (ed) Syntax and Semantics 3: speech acts. NY: Academic Press.
Rubin, J. 1983. How to tell when someone is saying “No” revisited. Dalam N. Wolfson & E. Judd (ed). Sociolinguistics and language acquisition. Rowley, MA: Newbury House.
Searle, J. 1975. Indirect speech acts. Dalam P. Cole & J. Morgan (ed). Syntax and Semantics 3: Speech Acts. NY: Academic Press. Halaman 59-82.
Tannen, D. 1994. Gender and discourse. NY: OUP.
Thomas, Jenny. 1983. Cross-cultural pragmatic failure. Applied Linguistics. Vol 4 no 2. Halaman 91-112.
Wierzbicka, A. 1985. Different cultures, different languages, different speech acts. Journal of Pragmatics. Vol. 9. Halaman 145-178.
E. Aminudin Aziz, lahir di Ciamis 16 November 1967. Memulai pendidikan tinggi di Universitas Pendidikan Indonesia (dulu IKIP Bandung) pada tahun 1986 pada jenjang Diploma 2, kemudian dipromosi ke jenjang Diploma 3 (1988) dan Strata 1 (1989), dan selesai tahun 1991. Menjelang akhir pendidikannya di IKIP Bandung, yang bersangkutan bekerja sebagai Resource Centre Coordinator pada Pusat Bahasa ITB (1990-1991), kemudian diangkat menjadi staf pada Unit Hubungan Pendidikan Internasional UPI (1991-1992), lalu menjadi dosen tetap di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris FPBS UPI (1992-sekarang) dan dosen Pasca Sarjana UPI (2000-sekarang). Pada tahun 2000-2001, yang bersangkutan diangkat menjadi Junior Research Fellow pada Department of Linguistics, Monash University, Australia. Mengikuti pendidikan pasca sarjana (MA) di Department of Linguistics Monash University, Australia melalui beasiswa AusAID (1994-1996) dan program doktoral pada universitas yang sama (1997-2000) dengan beasiswa dari Ditjen Dikti Depdiknas (Projek PGSM). Dari aktivitasnya dalam berbagai kegiatan akademik baik tingkat nasional maupun internasional, telah dihasilkan beberapa karya ilmiah, baik laporan penelitian, buku, makalah, ataupun artikel yang diterbitkan secara nasional maupun internasional. Fokus kajian penelitiannya adalah bidang pragmatik, semantik, sosiolinguistik, dan analisis wacana kritis. Selain mengajar, yang bersangkutan saat ini menjabat sebagai Kepala UPT Hubungan dan Pendidikan Internasional UPI, dan Anggota Tim Pengembang Kerjasama UPI.
[1] ) Artikel ini pernah diterbitkan sebagai salah satu Bab dari buku Revitalisasi Pendidikan Bahasa: Mengungkap tabir bahasa demi peninkatan SDM yang kompetitif. A. Chaedar Awalsilah & Hobir Abdullah (editor). 2003. Bandung: Andira