Oleh : E. AMINUDIN AZIZ
RINGKASAN
Secara umum, penelitian ini ditujukan untuk mengungkap persepsi masyarakat Cina moderen di tengah-tengah tatanan dunia yang sedang berubah, tentang konsep tradisional “wajah” (mianzi/lian) yang diturunkan dari ajaran Kong Fu’ Tzu. Secara khusus, penelitian ini mengungkap bagaimana persepsi tersebut tercermin dalam pola komunikasi antarpersonal mereka. Seorang penutur dipandang telah memperhatikan “wajah” mitra tuturnya apabila dia telah —dan terus— berupaya mengembangkan strategi komunikasi yang pada akhirnya menjadikan mitra tutur merasa yakin bahwa dia adalah penutur yang santun. Inilah isu yang menjadi fokus penelitian ini.
Dibandingkan dengan keadaan pada masa lalu, keadaan negeri Cina saat ini sudah mengalami perubahan yang luar biasa. Kita yakin bahwa perubahan luar biasa itu bukan hanya telah mengubah tatanan sosial masyarakat Cina tetapi juga telah memberikan nuansa berbeda pada nilai-nilai dan norma-norma masyarakat setempat, sehingga memunculkan “ideologi baru”. Di antara daerah yang telah banyak mengalami perubahan tersebut adalahkotaShanghaidan ini merupakan salah satu alasan penting mengapakotaShanghaidipilih sebagai tempat penelitian.Ada100 orangShanghaiyang terlibat dalam penelitian ini, 50 orang diambil dari daerah perkotaan dan 50 orang dari pedesaan. Mereka merepresentasikan berbagai latar belakang sosial yang berbeda, meliputi usia, jenis kelamin, tempat tinggal, dan pekerjaan.
Data dikumpulkan melalui wawancara semi-terstruktur dengan para responden, yang dipandu dengan sejumlah pertanyaan tentang berbagai situasi yang mungkin mereka hadapi pada kehidupan nyata. Instrumen penelitian ini mirip dengan yang pertama kali dikembangkan oleh Blum-Kulka (1983; 1989). Data yang diperoleh dari model pengumpulan seperti ini berupa perkiraan tindakan yang akan dilakukan oleh para responden dalam situasi-situasi tersebut dan contoh tuturan yang akan diungkapkannya. Selain itu, data juga dikumpulkan melalui pendekatan etnografi, yaitu peneliti terlibat langsung dalam kehidupan sehari-hari para responden. Model seperti ini dilakukan untuk menjaring data alamiah yang ditunjukkan oleh para responden. Keseluruhan data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan parameter konsep wajah yang diturunkan dari ajaran Kong Fu’ Tzu, yang meliputi konsep relasional, komunal/sosial, hierarkikal, dan moral.
Analisis terhadap data yang ada menunjukkan bahwa mayoritas responden tidak mengetahui hakikat konsep wajah dari Kong Fu’ Tzu, sekalipun mereka menyatakan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ditemukan pula bahwa para responden senantiasa menghindari terjadinya konflik dengan para mitra tuturnya, sekalipun mereka tengah berada pada situasi yang tidak menguntungkannya. Hal ini, misalnya, ditunjukkan pada sikap dan tindakan mereka yang selalu ditujukan untuk membahagiakan mitra tuturnya. Cara seperti ini merupakan isyarat kuatnya mereka dalam mematuhi norma-norma yang berkait dengan konsep penyelamatan wajah. Dengan cara seperti ini, mereka juga sebenarnya telah memperoleh, memuliakan, dan mengangkat citra wajahnya sendiri, bahkan dipandang sebagai warga masyarakat yang santun dan bermoral tinggi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa sekalipun Cina (khususnya kotaShanghai) telah dan sedang berubah, persepsi dan pemahaman warganya tentang konsep tradisional wajah tidak banyak bergeser. Di antara empat nilai dasar dari konsep wajah itu, integritas moral de menjadi acuan paling penting untuk menilai apakah seseorang masih memiliki wajah atau justru sebaliknya. Hilangnya moralitas berarti hilangnya ruh kemanusiaan pada seseorang.
Pendahuluan
Orang Cina dikenal sebagai kelompok masyarakat yang hidup dengan budaya menghindari konflik dengan sesama. Perilaku komunikasi di antara mereka terilhami dan dipandu oleh keyakinan bersama untuk saling menghormati harga diri dan atribut sosial yang mereka kenal sebagai mianzi atau lian (wajah/muka). Konsep ini diturunkan dari ajaran nenek moyang mereka, khususnya dari filsuf anutan mereka K’ung Fu-Tzu, yang merumuskan nilai-nilai hakiki kemanusiaan (ren). Konsep wajah itu sendiri, dirumuskan realisasinya oleh Hu pada 1944. Dalam konsep ini, wajah dipandang sebagai pusaka setiap pribadi yang berdimensi sosial yang akan senantiasa dijaga “kesakralannya” supaya tidak tercoreng apalagi terlepas (Lihat Goffman, 1959; 1967). Sebagai sebuah atribut sosial, wajah diperoleh sebagai pinjaman dari masyarakat, yang sewaktu-waktu dapat dicabut kembali manakala seseorang tak layak lagi untuk menyandangnya.
Menurut Cheng (1986: 337), “Confucianism, with its theory and practice, no doubt, is the unequivocal ideological background and foundation of the concept of face and face-work in the Chinese language”. Dengan keyakinan seperti ini, harmoni dalam komunikasi dapat terwujud, sebab bagi orang Cina penghormatan terhadap wajah seseorang “is conceptualised as a typical Chinese conflict preventive mechanism and a primary means to cultivate harmonious human relations in Chinese social life” (Jia, 1997). Dengan demikian, memahami nilai-nilai filosofis dari wajah menjadi sangat penting artinya bagi setiap warga masyarakat Cina apabila mereka benar-benar ingin menciptakan keharmonisan dalam masyarakat.
Konsep wajah yang diturunkan dari ajaran kemanusiaan (ren) K’ung Fu-Tzu meliputi kehangatan sikap dan perasaan sebagai manusia, yang akan menjadikannya sebagai manusia ideal, yang akan senantiasa tenggang rasa terhadap orang lain. Dengan kata lain, memahami dan mempraktekkan ren sama artinya dengan menerima prinsip resiprokal shu, yakni mampu menempatkan perasaan diri sendiri pada perasaan orang lain. Akibatnya, timbullah empati pada orang tersebut.
Dalam komunikasi antarpersonal, pemahaman akan sifat wajah tersebut bisa mendorong semua pihak yang terlibat dalam komunikasi untuk meyakini bahwa kepentingan mereka yang berbeda-beda bisa menimbulkan konflik, dan oleh karena itu harus dikompromikan. Ketika semua pelaku komunikasi menganut prinsip tersebut dengan baik, maka hubungan kedua pihak yang berkomunikasi akan tetap baik, mereka akan merasa senang dan puas karena masing-masing kepentingannya dihormati. Keadaan ini seringkali bisa tercapai melalui kesantunan atau limao.
Sebagai sebuah ide/konsep, limao sangat mungkin dipersepsi secara sama dalam pikiran orang Cina, walaupun realisasinya mungkin saja berbeda. Hal itu bergantung pada pemahaman masing-masing individu, yang sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor eksternal seperti usia, tingkat pendidikan, pengalaman hidup, intensitas interaksi dengan anggota masyarakat lain, status sosial, dan sebagainya. Sementara itu, kita kini menyaksikan bahwa keragaman faktor-faktor eksternal itu kini banyak dipengaruhi dan terkait dengan keadaan dunia yang tengah berubah secara cepat akibat perkembangan teknologi informasi. Sebagai sebuah kelompok masyarakat yang ada dalam lingkaran global, masyarakat Cina pun tentunya tidak dapat menolak perubahan yang sedang terjadi ini. Dengan demikian, kalau kita percaya bahwa perubahan itu akan membawa perubahan dalam perilaku anggota masyarakat, maka hal itu tak dapat dikecualikan bisa pula terjadi pada persepsi masyarakat Cina tentang konsep-konsep tradisional yang selama ini mereka pegang. Keterkaitan perubahan tatanan dunia baru dan persepsi masyarakat tentang konsepsi tradisional itu menjadi hal yang menarik untuk dikaji sehingga dapat diperoleh gambaran tentang sikap dan kepercayaan masyarakat terhadap sebuah nilai filosofis.
Tujuan Penelitian
Berangkat dari pemikiran di atas, penelitian ini mengungkap lebih jauh pengaruh faktor-faktor eksternal tersebut pada realisasi limao dalam berbagai tindak tutur. Secara khusus, penelitian ini ditujukan untuk menggambarkan dan menjelaskan perubahan yang sedang dialami oleh masyarakat Cina kini dalam menghayati konsep wajah (lian atau mianzi) sebagai konsep tradisional dalam hubungannya dengan kesantunan limao.
Kerangka Teoretis
Menurut ajaran Confucianism, seperti disinyalir oleh Cheng (1986), menjadi manusia ideal dapat dicapai melalui pembinaan dan pengembangan diri. Kesempurnaan pada manusia ideal itu baru akan tercapai manakala lima hubungan manusiawi berikut ini benar-benar dihayati dan dipraktekkan: 1) hubungan kedekatan (seperti orang tua-anak); 2) hubungan keikhlasan (seperti pada tuan-hamba); 3) hubungan perbedaan (suami-istri); 4) hubungan hierarkis (tua-muda); dan 5) hubungan kesetiaan (sesama sahabat). Pengembangan diri itu sendiri ditentukan oleh norma dan nilai xiao (kesalehan filial); di (persaudaraan), li (kesantunan), dan de (integritas moral). Konsep lian/mianzi sendiri melekat pada de, yang tentu saja hal ini menyiratkan betapa penting dan sakralnya wajah pada tatanan masyarakat Cina.
Jia (1997) mengidentifikasi adanya empat sifat yang mendasari konsep wajah dalam masyarakat Cina tradisional, yaitu relasional, komunal/sosial, hirarkis, dan moral. Sifat relasional wajah terkait dengan mekanisme yang berlaku dalam mengatur hubungan dan prilaku antarpersonal warga masyarakat dalam mewujudkan keharmonisan masyarakatnya. Sifat komunal/sosial wajah didasarkan pada gagasan bahwa wajah adalah perisai yang dapat melindungi seseorang dari berbagai kemungkinan “serangan” dan cercaan warga masyarakat lainnya tentang prilaku pemiliknya. Kehilangan perisai tersebut akan berdampak pada hilangnya wajah seseorang di mata anggota masyarakat lainnya. Sementara itu, wajah dikatakan bersifat hirarkis, karena realisasi penghormatan terhadap “wajah” (baca: harga diri) seseorang, seringkali didasarkan atas atribut-atribut sosial yang membeda-bedakan seseorang dengan lainnya, seperti faktor senioritas dalam usia, asal muasal keturunan, jabatan, harta, dan sejenisnya. Sementara itu, wajah dikatakan berbasis moral mengingat hanya orang yang memiliki integritas moral yang kuatlah yang akan peduli terhadap kesakralan wajahnya (Lihat Cheng, 1986; Chang&Holt, 1994; Ho, 1976).
Masyarakat (tradisional) Cina mengenal dua konsep wajah seperti dikemukakan sebelumnya, yang didasarkan pada ajaran Confucianism, yaitu lian dan mianzi. Seseorang dikatakan memiliki lian ketika memiliki reputasi moral yang baik. Masyarakat akan menaruh rasa hormat yang tinggi kepada orang yang memiliki lian. Apabila kemudian orang itu melakukan pelanggaran sosial atau melakukan tindakan amoral seperti mengkhianati janji, berbohong untuk kepentingan pribadi, melakukan tindak kriminal, dan sebagainya sehingga menimbulkan kritik masyarakat, maka ia sebenarnya telah kehilangan lian. Misalnya, seorang gadis berpacaran lalu hamil dan memutuskan untuk gantung diri karena kecewa oleh pacarnya yang ingkar janji tidak mau bertanggung jawab dengan cara menikahinya. Lelaki tersebut di mata masyarakat telah kehilangan lian. Seorang dosen tidak mampu menjawab pertanyaan mahasiswa, maka ia telah kehilangan lian. Karena kegiatan bermasyarakat di Cina kebanyakan berbasis kepercayaan, kehilangan lian merupakan hal yang sangat mereka takuti karena konsekuensi yang akan mereka terima adalah kecaman sosial. Semakin tinggi status sosial seseorang, semakin kuat mereka berupaya untuk mempertahankan harga diri, dan semakin berhargalah lian (Hu 1944:47). Sementara itu, mianzi merupakan prestise atau reputasi yang dicapai seseorang melalui kerja keras atau anugrah dari masyarakat (Hu 1944:45). Kehilangan lian lebih berbahaya daripada kehilangan mianzi karena ketika lian hilang akan sangat sulit untuk mempertahankan mianzi. Kehilangan mianzi berarti kehilangan prestise atau reputasi yang sudah dimiliki karena kegagalan tertentu atau faktor ketidakberuntungan. Konsekuensi yang terparah dari hilangnya mainzi adalah berupa shock pada kejiwaan seseorang.
Dalam masyarakat tradisional Cina, konsep kesantunan yang mereka kembangkan bersumber dari konsep wajah masyarakatnya. Penutur dikatakan santun atau sopan jika mampu memuliakan lian dan mianzi mitra tuturnya dan realisasi tindak tuturnya sesuai dengan harapan masyarakat padanya (Mao 1944:463). Seperti halnya konsep kesantunan (wakimae) di Jepang, konsep kesantunan Cina (limao) pun mensyaratkan para penuturnya untuk menunjukkan rasa hormatnya kepada orang lain dengan cara merendahkan hati dan menempatkan diri pada posisi yang lebih rendah (Matsumoto 1988). Gu (1990:239) menambahkan bahwa di dalam konsep limao terdapat empat prinsip utama yaitu kehormatan (repsectfulness), kerendah-hatian (modesty), kehangatan sikap (attitudinal warmth), dan kehalus-budi-bahasaan (refinement). Kehormatan mengacu pada sikap menghargai orang lain secara positif atau menghormati wajah dan status orang lain; kerendah-hatian mencerminkan sikap kehati-hatian terhadap orang lain; kehangatan sikap menunjukkan perhatian dan keramahan pada orang lain; dan kehalus-budi-bahasaan yaitu bersikap pada orang lain dengan mengikuti standar tertentu. Kegagalan untuk mematuhi prinsip kesantunan seperti itu bisa mendatangkan sanksi sosial.
Brown & Levinson (1987) percaya bahwa konsep wajah ditemukan pada seluruh masyarakat dan berlaku universal. Dalam konsep wajah yang sakral ini, setiap orang dituntut untuk saling memuliakan wajahnya sendiri dan wajah anggota masyarakat lainnya. Hal ini, salah satunya, harus tercermin dalam pola-pola komunikasi yang mengedepankan upaya pemuliaan wajah seluruh pihak yang terlibat dalam tindak komunikasi, melalui komunikasi dengan bahasa yang santun. Namun, klaim keuniversalan sebagaimana didengungkan oleh Brown & Levinson itu kemudian mendapat tantangan, misalnya, dari para peneliti konsep wajah dan realisasi kesantunan dalam masyarakat Cina (Gu 1990; Mao 1994; Scollon & Scollon 1994; 1995; Pan 1995; dan sebagainya) dan Jepang (Matsumoto 1988; 1989; Ide, 1989). Bagi para peneliti ini, konsep wajah dalam sebuah masyarakat bersifat unik dan tidak bisa diberlakukan untuk semua budaya, demikian pula realisasi kesantunannya. Dengan demikian, sudut pandang, analisis, dan penjelasannya tidak dapat menggunakan kerangka berfikir yang ada di luar nilai dan norma yang berlaku di masyarakat itu. Nilai filosofis realisasi kesantunan negatif (negative politeness) yang sering kali ditemukan dalam tuturan masyarakat Cina atau Jepang, misalnya, tidak dapat dipersamakan dengan kesantunan negatif pada masyarakat penutur sejati Bahasa Inggris, walaupun keduanya menunjukkan pola dan struktur yang sama. Ternyata, ada alasan budaya yang relatif berbeda di antara kedua masyarakat tersebut.
Namun, sejumlah penelitian terkini menemukan bukti tentang adanya “pergeseran” dalam persepsi masyarakat Cina modern tentang konsep wajah dan realisasinya dalam kesantunan berbahasa (Kasper, 1990; Gu 1990; Mao 1994; Lii-Shih 1994; Lee-Wong 2000; Pan 2000). Nampaknya salah satu penyebab terjadinya pergeseran tersebut tidak terlepas dari adanya perubahan struktur sosial masyarakat Cina modern pasca Revolusi Kebudayaan pada akhir tahun 50an dan awal 60an, yang diikuti oleh pemberlakuan politik pintu terbuka terhadap pengaruh-pengaruh luar.
Metodologi Penelitian
Sumber data yang dipakai untuk mendukung pernyataan tentang adanya fenomena di atas diambil melalui survei etnografis pada masyarakat Shanghai selama periode Maret-Desember 2004, dibarengi oleh wawancara semi-terstruktur terhadap 100 orang responden yang dipilih secara purposif. Mereka terdiri dari dua kelompok, yaitu 50 orang diambil dari daerah perkotaan dan 50 dari pedesaan, Songjiang di Selatan dan Jiading di Utara. Dari 100 responden tersebut, 56 laki-laki dan 44 perempuan, berkisar dari usia 17 sampai 75 tahun. Pekerjaan yang mereka geluti juga beragam, seperti mahasiswa, petugas keamanan, sopir, konsultan, akuntan, desainer, dsb. Bahkan ada juga diantaranya yang sudah pensiun dan pengangguran.
Materi wawancara difokuskan pada investigasi pemahaman dan persepsi para responden terhadap konsep tradisional wajah dan bagaimana hal itu tercermin dalam pola komunikasi. Yang dimaksud dengan pola komunikasi di sini adalah berupa sikap dan contoh jawaban para responden terhadap situasi-situasi yang digambarkan pada waktu angket. Jenis instrumen penelitian ini mirip dengan angket isian wacana (DCT, Discourse Completion Task) yang pernah dikembangkan oleh Blum-Kulka (1982) ketika meneliti realisasi tindak tutur meminta (requesting) dalam masyarakat Israel. Berikut contoh situasi yang ditanyakan pada responden.
Situasi #10
Anda bersama beberapa teman mengundang teman dari luar negeri untuk makan malam di sebuah rumah makan terkenal dan mahal. Selesai makan, Anda meminta setiap orang yang datang untuk berbagi dan membayar tagihan, karena memang begitulah kebiasaan dalam budaya Anda. Hal itu membuat tamu Anda sangat terkejut, karena dalam budayanya, tamu yang diundang pasti dibayari oleh pengundang. Apa yang akan Anda katakan/lakukan?
a) Anda membayarinya, sekalipun Anda juga sebenarnya hampir kehabisan uang. Itu Anda lakukan karena ….
b) Anda menjelaskan kepada tamu bahwa setiap orang harus berkontribusi dalam membayar tagihan, termasuk tamu. Anda akan mengatakan ….
Secara rinci, dari investigasi ini akan diperoleh dua jenis data. Jenis pertama berupa sikap responden terhadap isu yang ditanyakan dalam wawancara yang terlihat dari opsi yang dipilih. Jenis kedua dalam bentuk contoh tuturan. Diyakini bahwa jenis data yang pertama bisa mengungkap konsep wajah responden dan data yang kedua lebih mengarah pada realisasi konsep wajah tersebut terhadap wujud tuturan santun/tidak santun yang diberikan.
Temuan dan Bahasan
Variabel usia, jenis kelamin, tempat tinggal, dan pekerjaan responden yang berbeda ternyata mempengaruhi pola komunikasi yang mereka gunakan. Dari 100 responden yang terlibat dalam penelitian ini, 47% termasuk kelompok usia muda (bawah 31 tahun), 25% kelompok usia menengah (31-45 tahun), dan sisanya 28% kelompok senior (45 tahun ke atas). Dalam sebuah situasi, responden diminta untuk memberikan sikap terhadap penjelasan yang diberikan pihak pimpinan tentang penundaan ekskursi yang seharusnya dilaksanakan minggu depan menjadi bulan depan. Menurut pihak manajemen, hal ini dilakukan karena alasan keuangan. Menghadapi situasi seperti ini, hampir tidak ada responden yang berani berargumentasi. Terhadap seorang atasan, mereka hanya berani sebatas mengajukan saran seperti Bagaimana kalau dua minggu dari sekarang aja Pak? Mungkin nggak? Dalam kaitannya dengan upaya penyelamatan wajah, ekspresi ini dipandang sebagai upaya penutur untuk tidak menaruh imposisi yang besar pada orang lain.
Respon serupa ditemukan pada situasi lainnya. Dalam sebuah situasi, guru ternyata memberikan penjelasan yang salah terhadap para siswanya. Hampir tidak ada responden yang berani secara langsung atau terang-terangan memberikan koreksi. Semua responden mengembangkan strategi yang bisa membantu mereka menyembunyikan perasaan “benar” dengan cara bertanya atau menyampaikan ketidakyakinan. Bahkan, lebih dari dua pertiga responden lebih memilih untuk tidak menginterupsi ketika guru masih memberikan penjelasan. Mereka akan menyampaikan koreksi tersebut setelah kelas usai. Ketika “terpaksa” harus menginterupsi di kelas pun, responden kelompok senior menyampaikannya dalam bentuk pernyataan ragu “Saya nggak tahu kalau teori itu ternyata sudah sangat tua dan belum pernah berubah. Sedangkan pada responden kelompok muda, mereka menyampaikannya dengan nada tidak yakin padahal sebenarnya mereka sudah membaca referensi lain “Guru, dalam buku yang saya baca, saya menemukan pandangan yang berbeda dengan yang Guru jelaskan. Tapi, terus terang, saya nggak yakin apakah hal itu memang benar.”
Proporsi responden laki-laki dan perempuan yang terlibat dalam penelitian ini cukup seimbang yaitu 56% laki-laki dan 44% perempuan. Terdapat kecenderungan bahwa respons yang diberikan oleh laki-laki dan perempuan hampir sama. Perbedaan terdapat pada alasan di balik pemilihan respons dan contoh-contoh tuturan yang mereka berikan. Ada situasi yang menggambarkan seorang tamu dari luar negeri sedang dijamu makan malam. Secara mengejutkan, makanan yang seharusnya dimasak dulu, ternyata langsung dilahapnya. Responden laki-laki dan perempuan memilih untuk menghentikan tamu mereka memakan makanan mentah yang dihidangkan, meskipun dengan resiko tamu mereka akan dipermalukan. Hal ini terlihat dari tingginya proporsi responden memilih sikap seperti itu. Setelah meminta tamu tersebut untuk tidak memakan makanan mentah, kebanyakan responden perempuan kemudian mengatakan “tidak masalah makanan tersebut dimakan mentah-mentah, tetapi rasanya akan lebih enak bisa dimasak dulu”. Sementara itu, responden pria lebih memilih memberitahukan secara langsung pada tamunya bahwa “makanan itu mentah dan oleh karena itu belum boleh dimakan”. Dari insiden ini, terlihat bahwa perempuan lebih peduli akan pentingnya menjaga wajah mitra tuturnya tetap positif dan tidak tercederai. Hal ini jelas berbeda dengan responden pria yang lebih terbuka menunjukkan keberatan mereka terhadap asumsi mitra tutur yang salah.
Berdasarkan tempat asalnya, para responden dikelompokkan dalam dua jenis yaitu perkotaan dan pedesaan. Proporsinya sama, 50 diambil dari perkotaan, 50 dari pedesaan. Kecuali terhadap situasi yang menggambarkan kesalahan asumsi mitra tutur yang menganggap suami/istri para responden sebagai “orang tuanya” (situasi #6) dan situasi yang menggambarkan seorang bawahan menubruk atasannya ketika keluar dari pasar swalayan (situasi #11), respon yang responden berikan hampir sama. Akan tetapi, dalam beberapa hal terdapat variasi dalam ekspresi dan bentuk tuturan yang diberikan. Sebagai contoh, pada waktu menghadapi temannya yang sengaja bertamu untuk meminjam uang untuk tamasya, (situasi #2), baik responden dari perkotaan maupun dari pedesaan, dua-duanya memilih opsi memberikan pinjaman kepada tamunya itu. Alasan mereka adalah karena mereka berteman akrab. Selanjutnya, beberapa responden yang berasal dari perkotaan menambahkan bahwa mereka cukup paham dengan situasi yang sedang dialami oleh teman mereka dan mereka menganggap liburan adalah sesuatu yang memang perlu dilakukan ketika hari libur. Sebaliknya, responden yang berasal dari pedesaan memandang liburan bukanlah suatu hal yang penting, akan tetapi karena alasan persahabatan yang sudah terjalin lama, mereka akhirnya bersedia meminjamkan uang. Perbedaan ini menggambarkan betapa bedanya cara mereka memandang hidup. Bagi orang kota, menikmati liburan ketika hari libur adalah salah satu cara menikmati hidup, dan bisa membawa konsekuensi meningkatnya status sosial mereka. Di samping itu, tindakan meminjami orang lain uang menunjukkan tidak hanya sebatas mempertahankan persahabatan, tetapi merupakan pertanda adanya kestabilan finansial, yang akhirnya bisa meningkatkan status. Di lain pihak, bagi orang desa, menmbelanjakan uang untuk liburan merupakan tindakan yang tidak bijaksana, karena uang bisa digunakan untuk sesuatu yang lebih penting seperti membantu keluarga atau menabung.
Variabel yang terakhir adalah pekerjaan. Variabel ini disertakan dengan asumsi bahwa interaksi intensif para responden dalam kehidupan kesehariannya akan memberikan pengaruh yang cukup penting pada persepsi mereka tentang suatu isu. Berdasarkan jenis pekerjaan responden, terdapat empat kategori yaitu pekerja profesional (26%), pekerja kasar (55%), mahasiswa (8%) dan tidak bekerja (11%). Dalam sebuah situasi, responden diminta untuk memberikan tanggapan terhadap penjelasan yang diberikan pihak manajemen tentang penundaan ekskursi yang seharusnya dilaksanakan minggu depan menjadi bulan depan. Menurut pihak manajemen, hal ini dilakukan karena alasan keuangan. Menghadapi situasi tersebut, kebanyakan para pekerja kasar menerima penjelasan tersebut tanpa memberikan komentar. Hal ini karena mereka khawatir dengan resiko yang mungkin akan mereka dapatkan di masa depan. Mereka tidak berani protes karena mereka berada pada posisi yang lemah. Kalau pun ada yang protes, bentuknya hanya berupa ajuan saran saja. Sementara itu, kelompok pekerja profesional lebih berani berargumentasi mengemukakan keberatan terhadap putusan pihak manajemen tersebut. Demikian halnya dengan kelompok mahasiswa. Mereka berani bernegosiasi dengan pihak manajemen, berbicara langsung untuk meminta kepastian pelaksanaan ekskursi. Dalam pandangan responden kelompok ini, negosiasi mutlak harus dilakukan untuk menaikkan posisi tawar mereka.
Pembahasan konsep wajah dan kesantunan masyarakat Cina akan selalu terkait dengan ajaran Confucianism. Hampir semua responden berusaha sebisa mungkin untuk menaati sifat relasional wajah dengan cara menghindari konflik dengan mitra tutur walaupun mereka berada pada keadaan yang sulit atau tidak menguntungkan. Demi menjaga keharmonisan dengan mitra tutur, penutur rela mempertaruhkan kepentingan pribadinya. Seperti pada sebuah situasi, penutur tidak melarang atau menegur tamunya yang merokok padahal ia sangat tidak tahan dengan bau asap rokok. Responden memandang sifat komunal wajah sebagai sentral dari prilaku komunikasi mereka. Hal ini karena mereka merasa khawatir akan sanksi sosial yang akan dijatuhkan padanya jika sampai melakukan perbuatan menyimpang. Insiden yang ditunjukkan situasi #4 dimana responden menerima komplain dari anak-anak mereka karena makanannya dihabiskan oleh anak tetangga memberikan gambaran yang jelas sikap yang responden ambil ketika dihadapkan pada keadaan diperlakukan tidak “baik” oleh mitra tuturnya. Jika penutur melakukan tindakan balas dendam pada mitra tuturnya tersebut, maka ia akan kehilangan lian. Demikian halnya, responden masih menaati sifat hirarkis. Hal ini terlihat dalam situasi #13 dimana seorang bawahan secara tidak sengaja menabrak bosnya. Dalam keadaan demikian, bos tersebut tetap bersikap seperti biasa seolah-olah tidak terjadi sesuatu padanya, karena jika bos tersebut memarahi bawahannya maka ia akan kehilangan lian. Sifat moralitas wajah terlihat dalam tindakan yang dipilih responden yang selalu menghindar untuk “menyerang” orang lain, lebih menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadinya, dan sangat menghormati orang lain karena reputasi mereka yang baik.
Simpulan
Hasil analisis terhadap data yang terkumpul menunjukkan sejumlah temuan. Pertama, ada sejumlah responden yang menyatakan ketidakpahamannya akan keberadaan konsep wajah dalam masyarakat Cina, sekalipun mereka menyadari akan adanya istilah lian dan mianzi dalam kosakata bahasa mereka. Hal ini ditunjukkan, misalnya, dalam ketidakmampuan mereka untuk menjelaskan apa sebenarnya yang mereka pahami tentang mianzi atau lian itu, walaupun mereka menyatakan bahwa mereka sebenarnya mempraktekkan prinsip-prinsip yang terdapat pada konsep itu. Kedua, usia menjadi salah satu faktor penting yang membedakan persepsi para responden tentang konsep tradisional mianzi dan lian, yang tentu saja pada gilirannya berperan dalam membedakan realisasi kesantunan berbahasa mereka. Dibandingkan dengan kelompok responden berusia menengah dan senior, kelompok responden berusia muda lebih menunjukkan sikap berterus terang dalam bertutur untuk menyampaikan maksud tuturannya (direct). Kelompok responden berusia menengah dan senior nampak lebih berhati-hati dalam bertutur, terutama ketika menunjukkan perbedaan pendapat yang bisa menimbulkan konflik. Sementara itu, variabel jender responden tidak terlihat menjadi salah satu penentu perbedaan persepsi konsep-konsep tradisional tersebut. Ketiga, ada perbedaan pandangan pada masyarakat Shanghai perkotaan dibandingkan dengan masyarakat pedesaan dalam memperlakukan mitra tutur dalam tindak komunikasi. Masyarakat Shanghai pedesaan menunjukkan kuatnya rasa kebersamaan untuk saling melayani, sementara masyarakat perkotaan lebih berorientasi pada terwujudnya kemandirian. Akibatnya, tindak komunikasi seringkali didorong oleh alasan-alasan instrumental, artinya realisasi sebuah tindak komunikasi terjadi karena seseorang melihat adanya “keuntungan” yang mungkin dapat diperoleh dari tindakan itu. Dengan demikian, konsep kesantunan (limao) pada kedua kelompok responden ini pun menjadi relatif berbeda. Keempat, jenis pekerjaan para responden muncul menjadi ciri pembeda lainnya dalam realisasi kesantunan para responden. Secara khusus kita menemukan bahwa dibandingkan dengan kelompok lainnya, para pekerja profesional dan mahasiswa lebih tidak hirarkis dalam bertutur, walaupun mereka tetap menunjukkan penghormatan (deference) yang mendalam terhadap mitra tuturnya. Kelima, realisasi kesantunan berbahasa lebih diarahkan pada upaya menjaga keharmonisan sesama warga masyarakat dan penjagaan citra diri di hadapan mitra tutur, terlebih-lebih di antara sesama sahabat dekat, tetangga, atau tamu asing.
Analisis lebih jauh terhadap data yang ada dengan menggunakan parameter sifat-sifat manusia ideal yang memiliki wajah (lian) menemukan bahwa dalam keseluruhan interaksi berbahasa dengan para mitra tuturnya, para responden ternyata masih sangat memperhatikan nilai-nilai yang terkandung dalam konsep wajah seperti diungkapkan dalam Confucianism. Secara khusus diketahui bahwa dari keempat sifat wajah itu, integritas moral menjadi acuan paling penting untuk menilai apakah seseorang masih memiliki “wajah” atau justru sebaliknya. Hal ini karena moralitas diyakini menjadi basis paling utama dari nilai kemanusiaan ren seseorang; hilangnya moralitas berarti hilangnya sifat-sifat manusiawi seseorang.
Pustaka Rujukan
Blum-Kulka, Soshana. 1982. Learning how to say what you mean in a second language: a study of the speech act performance of learners of Hebrew as a second language. Applied Linguistics, 3, 131-146.
Brown, P. & S.C. Levinson. 1987. Politeness: some universals in language usage. Cambridge: CUP.
Chang, H. & R. Holt. 1994. A Chinese perspective on face as inter-relational concern. Dalam S. Ting-Toomey (ed.). The challenge of facework. Albany: SUNY. Pp 133-158.
Cheng, Chung-ying. 1986. The concept of face and its Confucius roots. Journal of Chinese Philosophy. 13, 329-348.
Goffman, Erving. 1959. The presentation of self in everyday life. New York: Doubleday.
_________. 1967. Interaction ritual: Essays in face-to-face behavior.New York: Pantheon Books.
Gu, Yueguo. 1990. Politeness Phenomena in Modern Chinese. Journal of Pragmatics 14:237-257.
Ho, D.Y. 1976. On the concept of face. American Journal of Sociologist, 81, 867-884.
Hu, Hsien Chin. 1944. The Chinese Concept of “Face”. American Anthropologist 46(1): 45-64.
Ide, Sachiko. 1989. Formal form and discernment: Two neglected aspects of universals of linguistic politeness. Multilingua 8/2-3:223-248.
Jia, Wenshan. 1997. Facework as a Chinese conflict-preventive mechanism—a cultural/discourse analysis. Intercultural Communication Studies VII: 1. Tersedia online pada situs berikut: http://www.trinity.edu/org/ics/ICS%20VII/ICS-VII-1-JIA.pdf
Kasper, Gabriele. 1990. “Linguistic politeness: current research issues”. Journal of Pragmatics vol. 14: 193-218.
Lee-Wong, Song Mei. 2000. Politeness and Face in Chinese Culture. Frankfurt-am-Main: Peter Lang.
Lii-Shih, Yu-hwei E. 1994. What do “Yes” and “No” really mean in Chinese? Dalam J.E. Alatis (ed.). 1994. GURT 1994. WashingtonDC:GeorgetownUniversity Press.
Mao, Robert LuMing. 1994. Beyond politeness theory: ‘Face’ revisited and renewed. Journal of Pragmatics 21:451-486.
Matsumoto, Yoshiko. 1988. Reexamination of the universality of face: Politeness phenomena in Japanese. Journal of Pragmatics 12(4):403-426.
_________. 1989. Questions on politeness and conversational universals: Observations from Japanese. Multilingua 8-2/3:207-221.
Pan, Yuling. 1995. Power behind Linguistic Behavior Analysis of Politeness Phenomena in Chinese Official Settings. Journal of Language and Social Psychology 14(4):462-481.
________ . 2000. Politeness in Chinese Face-to-Face Interaction.USA:Greenwood.
Scollon, R. & S. Scollon. 1994. The parameters in East-West discourse. In S. Ting-Toomey (ed.). The challenge of facework. Albany: SUNY. Pp. 133-158.
_________. 1995. Intercultural communication. Oxford: Blackwell.
*) Makalah ini didasarkan pada hasil penelitian penulis di kota Shanghai, RRC pada periode Maret-Desember 2004. Penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan setulus-tulusnya kepada pihak Asian Scholarship Foundation (ASF) Bangkok, yang telah memberikan bantuan finansial melalui skema ASIA Fellows Awards 2003-2004.
**) Lektor Kepala pada Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, FPBS UPI dan Ketua Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana, UPI.
Makalah disampaikan pada Acara Pemilihan Dosen Berprestasi Tingkat Nasional 2005 di Jakarta, 13-18 Agustus 2005